Anak Panah Bermata “Tunung”

Ilustrasi: Aprililia

Maristi baru saja menapakkan kakinya di lantai kayu ketika Lidiana menghambur ke arahnya. Gadis kecil itu merangkulnya erat, seraya terisak menyurukkan wajah ke dadanya yang kembang kempis.

“Kau ini kenapa?” tanya Maristi dengan napas yang masih memburu karena baru saja kembali ke rumah dengan tergesa-gesa. “Sudah besar, tapi menangis saja kerjaanmu.”

Tanpa sedikit pun mengangkat wajah, telunjuk kurus Lidiana menunjuk ke rumah seorang tetangga. “Itu, ada Yudas di sana. Dari tadi dia melihat ke sini.”

Maristi menoleh tanpa rasa ingin tahu dan tampak terlalu malas mendengar nama laki-laki itu disebut oleh siapa pun dalam keluarganya. Laki-laki itu sedang duduk di beranda sebuah rumah, merokok, dan mengawasinya dengan tatapan yang membuat siapa pun yang bersirobok dengannya akan merasa gentar. Mata Yudas selalu berwarna merah—merah yang mengancam seolah menyimpan bara api. Namun, Maristi sudah terbiasa dan berusaha untuk tidak pernah takluk dengan mata merah semacam itu.

“Apa dia menakutimu?” tanya Maristi.

 Lidiana mengangkat wajah sebentar. “Saya takut melihatnya. Dia seperti orang yang kejam.”

Maristi bersungut-sungut tidak jelas dan bergegas ke dapur untuk mengambil parang yang sempat dilupakannya sewaktu berangkat ke ladang—dia baru teringat ketika langkahnya menapaki jalan bercabang di ujung kampung. Ibu dan kakak perempuannya sudah menunggu untuk menyiangi semak-rumput yang mengganggu di antara rumpun keladi, mungkin juga akan memanen sedikit terong ungu, atau—kalau beruntung—setandan pisang. Dan dia akan mengumpulkan kayu bakar, dahan atau ranting kering yang biasanya dipotong pendek-pendek, lalu dibawanya pulang dengan sebuah jaragjag di punggung bersama apa saja yang bisa diambil dari ladang.

“Sudah, jangan takut lagi. Lebih baik kau ikut ke ladang,” ujar Maristi ketika tangannya sudah menenteng sebilah parang.

Mereka berjalan bersisian hendak meninggalkan rumah panggung berkaki pendek itu. Langkah keduanya menimbulkan derit lembut pada lantai kayu. Menjelang undakan, Maristi sengaja mengentakkan kakinya keras-keras, semata agar Yudas mendengarnya dan tahu bahwa dirinya bukanlah perempuan kebanyakan yang hanya bisa diam menerima setiap tindakannya yang intimidatif. Namun, Yudas tampak bergeming. Mulutnya yang terbiasa melontarkan kata-kata cabul kepada Maristi dan keluarganya, terkatup rapat, hanya saja matanya tidak bisa berhenti mengawasi.

“Kau tahu sekarang,” ujar Maristi ketika mereka sudah tiba di jalan berkelok menuju ladang, “kadang-kadang kita harus berani. Tak usah takut.”

Lidiana tampak lega dan sudah berani melepaskan genggaman tangannya. Bahkan, tangisnya sudah reda sama sekali. “Tapi saya takut melihat matanya,” ujarnya.

“Biar nanti matanya buta kalau terus menatapmu seperti itu.”

“Tapi sikerei akan mengobatinya.”

Sikerei tak akan mengobati orang jahat. Kau mengerti?” tegas Maristi.

Keponakan perempuannya itu cepat-cepat mengangguk. Maristi tahu, seorang sikerei—tabib yang dihormati di kampung halamannya—tidak akan menolak untuk mengobati siapa pun, bahkan jika si sakit pernah melakukan tindakan lucah. Dia mengatakan itu karena ingin membuat Lidiana merasa lebih tenang dan mengerti bahwa seorang penjahat harus mendapatkan hukuman.

“Tapi kenapa ada yang bilang kalau dia mae saya?”

“Siapa yang bilang begitu?” tanggap Maristi.

Kening gadis kecil itu mengedut, sebelum kemudian menyebutkan sejumlah nama orang di kampungnya. Bukan nama-nama yang asing di kepala Maristi—dan itu membuatnya muak. “Lidia, sini dengarkan sebentar,” ujar Maristi seraya menghentikan langkahnya. Dia memegang pundak gadis kecil itu dan menatapnya lekat-lekat. “Mulai sekarang, kau tak boleh mendengarkan omong kosong mereka lagi. Kalau mereka masih cerewet, kau hanya perlu bilang kalau mae-mu sudah mati. Mengerti?”

“Mengerti. Mae saya sudah mati diinjak-injak babi, kan?”

Maristi masih menatap wajah polos gadis kecil itu, berusaha membuatnya tersenyum dengan mengangguk perlahan. Dia tahu, cerita tentang seorang ayah yang mati diinjak babi bukanlah cerita yang menyenangkan. Namun, kakak dan ibunya tidak punya cerita lain yang lebih layak untuk diceritakan kepada Lidiana. Bagaimanapun—menurut mereka—bila dibandingkan dengan seorang ayah yang menggauli sepupunya sendiri dalam dunia nyata, mati diinjak babi terdengar berkali-kali lipat lebih bermartabat. Cerita sambil lalu itu bermula dari ibunya, Tako Manai, yang saban hari harus mendengar pertanyaan dari cucunya—seorang siswa SD—tentang ketidakhadiran sosok laki-laki yang biasa dipanggil mae di rumahnya. Sementara ibu dari anak itu, Palentina, tidak pernah bisa memberikan jawaban.

Mae-mu, Toggilat, mati di hutan sewaktu berburu,” ujar Tako Manai suatu hari. “Dia sendirian melawan babi yang mengamuk karena terluka kena panah. Itu bukan babi seperti yang dipelihara orang-orang di sini. Tapi babi liar, biasa menabrak dan menginjak orang ….”

Toggilat, nama yang dipilih sendiri oleh Tako Manai, disetujui tanpa syarat oleh Palentina yang hanya bisa mengangguk setelah mencerna isyarat tangan dan bibir ibunya ketika berbicara. Palentina sudah mulai belajar membaca isyarat sejak masih bayi, dan itu membuatnya mengerti banyak hal tanpa orang lain harus mengatakannya dengan suara keras—dia kesulitan berbicara sekaligus mendengar sejak lahir. Kedua orang tuanya menerima kondisi khusus itu dengan sewajarnya. Mereka sadar, tidak ada yang perlu disalahkan. Tidak ada yang melanggar pantangan selama masa kehamilan. Bahkan, kelahiran bayi mungil itu pun berjalan normal. Barangkali satu-satunya kesalahan yang terus melekat dalam diri Palentina adalah kecantikannya. Ketika usia tidak bisa menghambat tubuhnya yang terus berkembang, Yudas mulai berkunjung untuk mencari celah: waktu yang tepat untuk melampiaskan hasrat hewaninya. Kunjungan itu makin sering ketika rumah sedang sepi; Tako Manai pergi ke ladang, tidak ada siapa pun yang bisa mendengar jerit ketakutan paling sunyi dan terpencil yang keluar dari tenggorokan gadis usia belasan itu. Tidak ada siapa pun yang peduli dengan rasa jijik yang ditimbulkan hingga perut Palentina membukit dan seluruh bagian tubuhnya terlihat lebih matang-berisi.

Janin terus tumbuh-membesar tanpa bisa dicegah. Lalu dengan caranya, Palentina menyebut satu sosok yang harus bertanggung jawab. Sosok yang kemunculannya selalu membuatnya gemetar karena kengerian yang tidak terkatakan. Sebagai orang tua tunggal, Tako Manai sangat terpukul dan merasa benar-benar sendiri mengetahui pengakuan Palentina. Lalu dengan susah payah, dia membawa nasib celaka anaknya itu ke sidang adat. Yudas pun disanksi tulou. Nyatanya, keharusan membayar denda karena melanggar adat itu, tidak pernah bisa menghapuskan trauma, juga desas-desus sejumlah orang bahwa Palentina adalah gadis murahan.

Ketika semua itu terjadi pada kakak perempuannya, Maristi sedang menjalani tahun pertamanya di Muara. Dia tinggal di sebuah asrama siswa putri milik pastoran setempat. Sejak lulus SD, seorang pamannya dari pihak ibu yang tinggal di desa dekat Muara, membawanya untuk melanjutkan sekolah di Muara. Dia menjalani masa SMP hingga SMA di ibu kota kecamatan yang udaranya beraroma garam itu. Beberapa hari setelah tamat SMA, dia menerima kabar buruk dari kampung halaman. Ibunya sakit dan ternyata itu sudah dipendam lama oleh ibunya. Dia harus pulang. Kali ini bukan kepulangan seperti sebelumnya, tetapi tampaknya dia harus menetap selamanya—setidaknya itulah yang dia pikirkan ketika kakinya kembali menapaki lantai rumah kecilnya yang terasa sunyi.  Bagaimanapun ibunya sudah tidak semuda dulu dan hanya tinggal bersama kakaknya yang berkebutuhan khusus serta keponakannya yang kerap merasa terancam tidak ubahnya menjadi perpanjangan nasib buruk dalam keluarganya. Namun, ibunya pelan-pelan membaik. Bahkan, kondisinya lebih sehat dari yang diperkirakan oleh semua orang di kampungnya.

“Mungkin baboi-mu lebih senang karena kau sudah pulang,” ujar seorang tetangganya suatu kali.

Maristi tidak pernah berpikir seperti itu. Barangkali tetangganya juga tidak tahu, bahwa dulu, ibunyalah yang sangat mendukung ketika dia harus meninggalkan kampung halaman. Padahal, waktu itu ayahnya belum lama meninggal karena sakit menahun. Dan dia tahu, ibunya butuh kekuatan lebih—baik secara fisik maupun mental—untuk tetap tinggal di rumah mereka. Selepas ayahnya berpulang, ladang tempat mereka menggantungkan hidup sehari-hari jatuh kepemilikan kepada saudara laki-laki ayahnya. Meskipun begitu, ibunya masih bisa menggarap ladang tersebut atas ijin dari keluarga ayahnya. Tahun pertama di SMA, Maristi pernah mengeluhkan kondisi seperti itu kepada ibunya. Namun, jawaban ibunya tidak bisa membuatnya lebih mengerti mengapa banyak hak kepemilikan yang mesti jatuh ke tangan laki-laki.

“Kautanyakan sesuatu yang sulit untuk dijawab,” tanggap ibunya ketika itu. “Adat kita memang seperti itu dari dulu. Lebih baik, kau urusi saja sekolahmu.”

Kini, sekian langkah dari ladang, dalam benak Maristi terlintas pertanyaan semacam itu lagi, dan dia berandai-andai: tanah itu secara sah akan menjadi milik ibunya. Dengan begitu, ibunya akan lebih tenang sekaligus bangga merawat ladangnya sendiri. Namun, bagaimana caranya? Pertanyaan dalam benak mudanya itu segera redam oleh kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya. Kakak dan ibunya sedang terduduk dengan wajah lesu di tengah lahan tinungglu—ladang garapan yang kini tidak ubahnya seperti tempat pembantaian. Rumpun keladi yang tidak lama lagi siap dipanen, seperti baru saja dirambah secara brutal: batang-batangnya dipotong-potong, umbi-umbinya yang belum begitu gemuk telah dijebol dan dicacah-cacah sebelum kemudian dihamburkan ke sana ke mari hingga menyebar ke seluruh penjuru ladang.

Baboi!” teriak Maristi seraya bergegas mendekati ibunya. “Kenapa ini? Siapa yang melakukannya?”

Tako Manai bergeming, tetapi pandangan matanya tidak berhenti mengitari hamparan lahan. Bukan hanya keladi yang tumbuh subur di tempat itu. Di tempat yang lebih kering, tumbuh terong ungu, sedikit ubi kayu, rumpun pisang, dan beberapa pohon pembatas lahan.

“Dulu mereka menginjak-injak bibit terong yang baru saja ditanam,” tanggap Tako Manai kemudian. “Sekarang mereka benar-benar menghancurkan kebun gette’ kita.”

Baboi, siapa yang melakukannya?” Maristi mendesak ibunya dengan suara bergetar—sesuatu yang keras dan panas seperti hendak meledak dari dalam dadanya.

Tako Manai menggeleng lemah. Tanggapan ibunya itu membuat napas Maristi semakin tidak teratur. Begitu meradangnya dia, hingga mengayunkan parangnya ke semak-semak di antara rumpun keladi yang sudah ludes. Dia melakukannya berkali-kali seraya berteriak-teriak tertahan—dia melakukannya seolah-olah sedang membuat perhitungan dengan para perusak lahan. Setelah lebih tenang, setelah kelelahan karena amarahnya sendiri, dia terduduk dan berujar lirih di dekat ibunya, “Baboi, ini pasti ulah bangsat-bangsat ingusan itu lagi, kan?”

Maristi sedang tidak berada di kampung halaman ketika hampir dari separuh ladang yang ditanami terong ungu dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ibunya pernah bercerita bagaimana memergoki salah satu pelakunya—seorang anak tetangga yang terpaksa mengaku karena keceplosan bicara. Dari pengakuan itu, ibunya mengetahui bahwa segerombolan remaja usia belasan telah menyatroni ladang pada suatu malam. Mereka cukup senang menerima imbalan masing-masing dua batang rokok setelah melakukan misi yang diembuskan Yudas sebagai perang suci: Tako Manai dan keturunannya dianggap sebagai keluarga kurang waras, murahan, dan aib bagi banyak orang, salah satunya karena anak perempuannya hamil di luar pernikahan. Oleh karenanya akan lebih baik jika keluarga tersebut pergi meninggalkan kampung. Untuk mempercepat niat jahat itu, salah satunya adalah dengan merusak ladang, sebab ladang adalah harta sekaligus harga diri yang tidak bisa tergantikan sekali pun hanya berstatus sebagai lahan garapan. Tako Manai sempat melaporkan perkara itu kepada tetua kampung, tapi dia justru jadi bahan gunjingan. Tidak ada yang percaya, sampai akhirnya Yudas tidak bisa lagi mengelak dan harus membayar denda karena perbuatannya.

“Kalau kita bisa menemukan pelakunya, apa kira-kira masih ada yang percaya?” tanya Maristi, terdengar seperti gumam.

Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya. Ibunya mendengkus seraya bangkit untuk memeriksa kembali umbi-umbi keladi yang mungkin masih bisa dibawa pulang untuk diolah menjadi makanan. Kakak perempuannya, Palentina, pun melakukan hal yang sama. Sementara itu, Lidiana mendekati Palentina dan mulai mengadu bahwa Yudas baru saja mengganggunya. Maristi memperhatikan percakapan isyarat kedua ibu-anak itu, dan berharap kakak perempuannya tidak terlalu khawatir.

***

Sebelum tengah hari, Maristi dan Lidiana sudah kembali ke rumah. Tako Manai dan Palentina langsung menuju ke sungai untuk menangguk udang. Tidak banyak yang bisa dibawa dari ladang; beberapa butir terong ungu, setandan pisang, dan sedikit dahan kering untuk kayu bakar—tidak ada umbi keladi yang bisa diselamatkan. Setelah menurunkan jaragjag dari punggungnya, Maristi berniat untuk merebahkan badan barang sebentar. Kepalanya terasa pusing dan dia menahannya sejak pagi. Dia menduga, itu karena “tamu” bulanannya yang sebentar lagi akan datang. Baru saja dia hendak melangkah ke kamar, terdengar keributan kecil dari seberang rumah. Seseorang menjerit panik, lalu bergegas ke rumahnya untuk meminta bantuan.

“Tolong! Yudas! Yudas di sana …”

Maristi benci nama itu disebut lagi, tetapi melihat istri Kalianus berdiri gemetar dengan wajah pucat, dia pun segera menuruni undakan. “Ada apa dengan Yudas, memangnya kenapa dia?” tanyanya.

Tetangganya itu menunjuk-nunjuk ke suatu tempat, lalu serta-merta menggelandangnya ke sebuah rumah. Pada sebuah kursi kayu panjang di beranda, Kalianus sedang memegangi kepala Yudas yang terkulai di pangkuannya. Kedua tangan dan paha Kalianus bersimbah darah. Darah juga membercak di undakan dan lantai kayu. Darah itu merembes dari kelopak mata sebelah kiri Yudas yang terluka—dengan anak panah yang masih menancap di sana. Maristi tercekat sebentar, lalu menyadari bahwa merah pada mata Yudas bukan lagi bara api yang mengancam, melainkan merah dari rasa takut dan putus asa, merah yang mengerikan sebagai sebuah hukuman.

***

Pagi itu ketika Yudas datang, istri Kalianus yang sedang duduk di beranda mengatakan bahwa suaminya berada di belakang rumah. Namun, Yudas memilih untuk duduk dan membakar rokoknya seraya mengamati Lidiana yang sedang bermain sendirian di beranda rumahnya. Cukup lama dia mengamati; sesekali juga memanggilnya agar gadis kecil itu mau mendekat kepadanya. Lidiana tidak menggubris, malah masuk ke rumah dengan wajah tertekan. Yudas terus memanggil Lidiana, kali ini dengan kata-kata lucah yang sama sekali tidak pantas keluar dari mulut seorang dewasa, apalagi sampai didengar oleh seorang gadis kecil.

Istri Kalianus merasa terganggu dengan ujaran-ujaran kotor yang keluar dari mulut Yudas, sehingga harus menegurnya. Namun, Yudas justru tertawa dan menyindir, bahwa Kalianus terlalu sering berada di hutan hingga tidak sempat meniduri istrinya. Masalahnya tidak hanya sampai di situ. Yudas—dengan gurauan yang tidak pada tempatnya—mengatakan bahwa dirinya siap menggantikan posisi Kalianus pada waktu-waktu tertentu ketika Kalianus berpantang hubungan badan karena sedang menjalani keseluruhan ritual berburu. Mulut Yudas seperti cerat pancuran terbuka yang sulit disumbat; terus-menerus tertawa, menyindir, mengujarkan segala sesuatu tentang betapa perkasanya dia dalam urusan meniduri perempuan.

Yudas baru benar-benar berhenti mengoceh ketika terdengar suara entakan kaki di lantai kayu. Suara itu berasal dari rumah Tako Manai, disusul langkah Maristi bersama Lidiana menuruni undakan kayu. Istri Kalianus mengira, dengan kemunculan anak dan cucu Tako Manai itu, Yudas akan segera pergi dari rumahnya. Namun, hingga mereka menghilang di tikungan jalan dusun, Yudas masih bertahan di beranda—dia malah kermbali memilin tembakau dan membakarnya.  

Tidak tahan dengan keberadaan Yudas, istri Kalianus pun menyusul ke pekarangan belakang rumah. Kalianus kerap berada di lahan berawa itu ketika sedang tidak berburu—sesekali dia mengolah sagu untuk keperluan makan sehari-hari. Namun, kali ini dia sedang mencoba rourou yang baru saja diselesaikannya. Busur dari batang enau itu disiapkannya untuk mengikuti Festival Memanah Tradisional yang akan diselenggarakan di ibu kota kecamatan. Beberapa hari itu dia rajin berlatih dan istrinya tahu, dia tidak bisa diganggu jika sedang seperti itu. Oleh karenanya, istri Kalianus memilih untuk menunggu hingga suaminya benar-benar bisa diajak bicara dengan tenang.

Setelah menunggu sampai Kalianus tampak puas dengan hasil latihan hari itu, istrinya segera angkat bicara melepaskan unek-uneknya. Wajah Kalianus yang baru saja dipenuhi harapan akan kemenangan sebuah festival, berubah seketika. Entah kemurkaan macam apa yang tiba-tiba mendesak-desak ke pikirannya ketika istrinya menceritakan sesuatu perihal tindak-tanduk Yudas. Entah apa pula yang menggerakkan kaki Yudas hingga dia turut menyusul ke lahan berawa itu. Dan Kalianus pun segera melihatnya; laki-laki yang lebih muda beberapa tahun darinya itu berdiri hanya sejengkal dari pohon sagu, tersenyum jumawa, seolah-olah ingin mengatakan: “Suatu saat aku akan meniduri istrimu!” Lantas, sesigap dan sejitu Kalianus membidik sasaran, sebatang anak panah melesat dari busurnya. Dia sempat tercekat, tapi kemudian menyadari bahwa sesuatu telanjur terjadi—anak panah bermata tunung itu tidak menyasar pohon sagu, tetapi bersarang di mata Yudas.

***

“Cepat panggilkan Aman Tonem!” perintah Kalianus seraya gemetar berusaha mencabut anak panah itu dari mata Yudas.

Maristi dan istri Kalianus terhenyak, lalu bersitatap. Tidak ada yang segera beranjak, membuat Kalianus harus mengulangi perintahnya dengan tatapan yang jelas-jelas menunjuk ke arah Maristi—tatapan yang membuat gadis muda itu benci karena tidak sanggup menolaknya. Maristi tiba-tiba merasa bahwa dusun itu lebih lengang dari biasanya, hingga selain dirinya, tidak ada seorang pun yang bisa dimintai pertolongan untuk memanggil seorang sikerei.

Seraya bergegas ke rumah Aman Tonem, sebuah pertanyaan mengusik kepala Maristi: “Kira-kira, apa Kalianus sempat membubuhkan racun mematikan—yang biasanya digunakan untuk membunuh babi—sebelum melepaskan anak panahnya?” ***

Kolomayan, 29 Desember 2024—16 September 2025

Catatan:

Baboi : Panggilan untuk ibu (ina).

Gette’/gettek: Keladi.

Jaragjag: Sejenis keranjang.

Mae: Panggilan untuk bapak/ayah (ama).

Rourou: Busur panah yang biasanya terbuat dari batang enau.

Sikerei: Seseorang yang memiliki peran istimewa dalam masyarakat Mentawai sebagai penyembuh (tabib), atau sebagai pemimpin dalam upacara-upacara adat.

Tinungglu: Hamparan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Tunung: Anak panah yang bahannya terbuat dari besi.

Tulou: Sanksi adat yang dikenakan kepada siapa pun yang melanggar aturan adat dengan kewajiban membayar denda.

1 komentar untuk “Anak Panah Bermata “Tunung””

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top