Catatan Perjalanan Haji Syekh Mato Aia Pakandangan

Menjelang akhir abad ke-18, menurut Christine Dobbin (2008), terjadi peningkatan perdagangan kopi di beberapa wilayah Minangkabau.

Peningkatan perdagangan ini telah membuka peluang besar bagi sebagian masyarakat Minangkabau untuk naik haji ke Makkah. Kopi sebagai komoditas primadona terus berlanjut dan menciptakan kemakmuran baru. Bahkan, menurut Elizabeth E. Graves (2007), perdagangan kopi telah menjadikan Raja Mangkuto (Koto Gadang) sangat kaya dan bisa menyewa kapal untuk naik haji sekaligus perjalanannya ke Holland.

Pada masa itu, pergi haji tidak semata-mata hanya menjalankan rukun iman kelima. Namun, sebagian di antara mereka pergi hajijugasekaligus untuk menuntut ilmu agama. Sekembalinya dari Makkah, beberapa di antara mereka menjadi ulama berpengaruh di Minangkabau. Dampak yang paling sederhana dari ritual haji tersebut adalah penukaran nama. Dalam konteks ini, Hamka (1982), penukaran nama setelah orang menjadi haji lazim dilakukan pada masa lampau.

Sayangnya, kisah naik haji dan dinamika yang menyertainya yang ditulis oleh orang-orang Minangkabau pada masa itu tidak banyak ditemukan. Syair MekahMadinahyang ditulis Syekh Daud Sunur (1785-1855) dan Min Makkah Ila Mishra olehSyekh Muhammad ArsyadBatuhampar (1849-1924) merupakan dua catatan ulama lokal yang penting yang mengisahkan perjalanannya ke Makkah. Kedua catatan ini merupakan salinan tangan (manu- script).

Beberapa tahun setelah itu barulah ditemukan Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyahyang ditulis oleh Syekh Muhammad Amin bin Abdullah (1795-1927) atau yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Mato Aia Pakandangan. Berbeda dengan kedua catatan di atas, syair ini sudah dalam bentuk salinan cetakan (printed book). Dari segi isi, syair ini juga jauh lebih panjang dari kedua catatan perjalanan ke Makkah yang ditulis oleh Syekh Daud Sunur dan Syekh Muhammad Arsyad di atas.

Siapa sesungguhnya Syekh Muhammad Amin bin Abdullah alias Syekh Mato Aia Pakandangan itu? Sejauh ini belum ditemukan laporan sarjana tentang biografi dan sejarahnya. Dari informasi lisan diketahui bahwa Syekh Mato Aia lahir di Kampuang Pandan, Padang Pariaman pada 1795 dan meninggal pada 1927. Ibunya benama Anduang Pudi dan ayahnya bernama Abdullah. Pada 1900, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu.

Syekh Mato Aia juga berguru kepada beberapa ulama Minangkabau yang masyhur pada masa itu, yakni kepada Syekh Tuangku Baukia, Uwai Limo Puluah, Syekh Jangguik Itam. Kepada ulama ini, ia belajar berbagai ilmu keagamaan seperti tasawuf, tauhid, tafsir Alquran, dan ilmu alat (bahasa Arab).

Pada masanya, Syekh Mato Aia cukup berperan dalam dakwah dan pendidikan. Ia mendirikan Surau Mato Aia dan Surau Batu di Sicincin. Surau ini didirikannya setelah kembali mengajar di Surau Buya Lembak Pasang Kamumuan, Surau Sasak Pasaman. Kesan pendidikan yang dikembangkannya masih dapat dilihat hingga sekarang melalui naskah-naskah yang masih tersimpan di Surau Mato Aia Pakandangan.

Syair Perjalanan Haji yang Cukup Panjang

Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyah berisi 724 bait ini ditulis dalam aksara Arab Melayu (Jawi). Di bagian sampul disebutkan: Al-Rihlah Al-Minangkabawiyahilã Al-Baqã’ Al- Makiyah, Nuzimaal-‘Alimal-Fadilal-Shaykh Muhammad Amin Bin ‘Abd Allah al-Mudarris bi-masjid Mato Air Pakandangan Al- Minangkabawal-Jawi, Ghafara Allah lahwa Li-walidayh, WaAl- Muslimin, Aamiin, Huquq Al-Tubu’ Mahfuzahlilmuallif, Al-Tabi’ah Al-Ula, Bi-Matbu’ah Al-Tarqi Al-Majidiyahbi- Makkah Al- Mahmiyyah, ‘Ala Nafaqah Muallifiha Al-Madhkur, Sanah 1328 Hijriyyah. Dari keterangan ini diperoleh informasi bahwa syair tersebut diterbitkan oleh penerbit Al-Tarqi Al-Majidiyah bi-Makkah Al-Mahmiyyapada1328 H (1910 M) dengan biaya penulisnya sendiri.

Di bagian awal, di dalam syair ini dikisahkan permulaan berangkat dari Mato Aia Pakandangan.

Sampailah bulan dua puluh dua
kami berjalan bersama-sama
ke Negeri Padang mula pertama 
hati di dalam banyak nan hiba

Pada hari Ahad kami berjalan 
seribu tiga ratus bilangan Sembilan 
Hijrah Nabi kita tatkala dizahirkan 
begitu nasib takdir Tuhan

Wa ‘ala> al-na>s h}ij al-bayt dalam Qura>n 
naik haji itu kuasa badan
siapa kanai saru hendak perkenankan 
menjalang Baitullah janganlah enggan

Kami berjalan pada hari Ahad
di surau Mata Air namanya tempat 
berhimpunlah orang pula sesaat 
kanan dan kiri semuanya kerabat

Melepas kami hendak berjalan 
harilah tinggi pukul Sembilan 
dihantarkan orang separo jalan 
tiba di Padang harilah malam

Kisah dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa selama perjalanan di atas kapal. Berbagai peristiwa digambarkan oleh pengarangnya,termasuk meninggalnya jemaah di atas kapal, dikisahkan dalam bait syair berikut ini:

Berlayarlah kapal sehari semalam 
wafatlah orang seorang perempuan 
negerinya Mengkung orang himbaukan 
sudah begitu takdir Tuhan 
Hari siang itu jadilah susah 
Mengerjakan mayat sudah pelentah
Mandi sembahyang sampailah sudah 
Kuburnya itu laut bahru Allah
Mayat berkubur hatipun hiba 
Kuburnya laut ombaknya rata 
Sudah takdir Tuhan yang Esa 
Ambil pengajar kepada kita

Syair dilanjutkan dengan kisah selamat di Makkah dan ditutup dengan kepulangan Syekh Mato Aia Pakandangan ke Minangkabau. Namun, sayangnya tidak ada cerita yang rinci tentang peristiwa perjalanan pulang ke kampungnya.

Di dalam kitab sudah terkata 
mufti Makkah mekhabarkan pula 
mengambil kitab kalau tidak ada 
sekalian amalan jadi binasa

Di Negari Makkah dijalang Syafi’e 
beliau menyuruhkan pulang ke negeri
membayar hutang dalam negeri
baitu nan suruh Tuhan Ilahi

Tatkala di Makkah maksud hati 
hendaklah tetap pula mengaji 
tetapi belum gerak Ilahi 
bahagian buruk sawah terjali

Sudahlah pula takdir Allah 
pulang ke negari berhati susah 
mengemang kitab fardhu kifayah 
tidak mencari riya dan megah

Pada bagian akhir disebutkan: Tamat kalam pada hari Ahad tiga belas hari bulan Safar pada tahun dal akhir sanah 1913. Telah sempurna cap pada matbu’ahal-taraqqiyal-majidiyahal-kainah bi-Makkah al-Muhammiyah. Syair Al-Rihlah Al-Minangkãbawiyah ilã Al-Baqã’ Al-Makiyahkarya Syekh Mato Aia Pakandangan merupakan memori penting tentang bagaimana orang-orang Minangkabau berhaji pada masa silam. Sebuah perjalanan ibadah penuh dengan dinamika dan darinya kita banyak mengambil faedah. Sebuah kisah perjalanan yang tidak hanya mengetengahkan ibadah individual, tetapi juga ibadah sosial. (*)


Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top