Liputan

Diskusi Bersama Kai Tuchmann: Antara Simarantang dan Postdramatik

Diskusi langka di Padang: Dramaturg kelas dunia Kai Tuchmann bersama seniman lokal mengupas tuntas Teori Teater Postdramatik. Kai menyebutnya “cara berpikir” yang membawa pergeseran dari fiksi ke realitas faktual di panggung. Seniman lokal bahkan berpendapat masyarakat Indonesia telah berpikir Postdramatik melalui teater rakyat seperti simarantang sebelum istilah itu muncul.

Diskusi Bersama Kai Tuchmann: Antara Simarantang dan Postdramatik Selengkapnya

Cerpen

Anak Panah Bermata “Tunung”

Maristi sudah terbiasa dan berusaha untuk tidak pernah takluk dengan mata merah Yudas, pria yang selalu mengawasinya. “Biar nanti matanya buta kalau terus menatapmu seperti itu,” ujarnya kepada Lidiana. Tapi kini ladang keluarganya hancur, dan kemarahan telah memuncak. Sekembalinya ke rumah, Maristi mendapati Yudas terkulai dengan anak panah menancap di mata kirinya. Sebuah hukuman yang mengerikan.

Anak Panah Bermata “Tunung” Selengkapnya

Kolase

Haji Bakil dan Kaum Miskin Desa

Di kampung ini, gelar “Haji” bukan hanya status religius, tapi juga simbol sosial yang sering diselipi sindiran. Haji Bakil, sebutan untuk para haji yang pelit dengan gaya spiritual, menjadi spesies sosial yang keberadaannya memicu tawa pahit kaum miskin. Melalui humor, mereka menertawakan kesenjangan, menolak tanpa memberontak, dan menjaga agar dunia tidak sepenuhnya dimiliki oleh para Haji Bakil. Artikel ini mengupas paradoks sosial di mana haji menjadi simbol kesalehan sekaligus bahan satire paling efektif.

Haji Bakil dan Kaum Miskin Desa Selengkapnya

Liputan

MLWF 2025: Cara Meninggalkan Jejak Multisensoris

Makassar Literary Walk Festival (MLWF) 2025 mengajak peserta berjalan kaki menyusuri lorong pasar, flyover, hingga sungai. Bukan sekadar menapak, tapi juga meninggalkan jejak multisensori. Komunitas Katakerja mengusung sastra sebagai pengalaman kolektif berbasis tapak, menyulap pelabuhan, kampung tua, dan situs sejarah menjadi panggung narasi. Festival ini fokus pada isu perubahan iklim dan peran perempuan lokal, serta menyoroti kolonialisme digital lewat instalasi seni. Literasi dipahami sebagai praktik hidup, bukan hanya baca-tulis, melibatkan penulis, seniman, hingga pedagang pasar.

MLWF 2025: Cara Meninggalkan Jejak Multisensoris Selengkapnya

Cerpen

Azimat Palembang

“Manuskrip itu bukan sekadar benda. Mereka memuat sejarah, cerita, atau bahkan darah dan kepedihan tak terkira,” ujar Arman, menyarankan saya ‘memantaskan diri’ sebelum menyentuh pusaka ratusan tahun itu.

Namun, ketika klise foto diletakkan di alat pemindai digital di Perpustakaan Leiden, hasilnya mengejutkan. Tak satu lembar pun menunjukkan aksara. Semuanya menjelma batu hitam yang ditembak cahaya tajam dari belakang. Azimat itu merupa objek korban backlight.

“Kadang-kadang, hal ini memang terjadi,” kata pustakawan Erl, menggeleng kesal. Pusaka itu seolah tak ingin disentuh teknologi.

Azimat Palembang Selengkapnya

Pusaka Sastra

Mohammad Sjafei, Dunia Pendidikan, dan Sastra

Mari kita telusuri salah satu harta karun sastra sekaligus fondasi pendidikan tempo doeloe: buku “Dikampoeng” (1939) karya Mohammad Sjafei. Lebih dari sekadar cerita keseharian keluarga Pak Ali di kampung, buku pegangan sekolah boemipoetra ini adalah medium jenius Sjafei untuk menanamkan etos kerja, nilai kemanusiaan, dan melatih konsentrasi siswa. Buku ini menunjukkan kepiawaian Sjafei dalam sastra anak dan sosial budaya yang masih relevan ditelaah hingga kini.

Mohammad Sjafei, Dunia Pendidikan, dan Sastra Selengkapnya

Scroll to Top