
Nona Ma, kau tidak sedikit pun berubah. Tetap cantik dan murah senyum. Ah, matamu itu, Nona Ma. Aku dulu ingin punya mata sepertimu. Aku memberi tahu Ibu Tua. Namun, katanya aku tidak mungkin punya. Aku bukan anak Cina. Aku merengek, minta diberikan saja kepada Baba, biar aku jadi anaknya. Biar mataku bisa sipit. Bapakku yang baru pulang dari mengawasi para pekerja di perkebunan kopi kami, bilang, Baba sudah punya Nona Ma, Nona Lin, Nona Sia, dan banyak lagi. Aku menangis di halaman. Kau, Nona Ma, datang membujukku. Aku mau kasih mataku, katamu. Aku mengerjap-ngerjap. Sisa tangis di mata dan pipiku kau bersihkan dengan sapu tangan merah bersulam bunga di sudutnya. Setelah hari itu aku berjanji untuk tidak melupakanmu. Terlebih setelah kita bertukar mata. Waktu itu kau minta aku memandang matamu dan kau memandang mataku. Sekarang pejamkan matamu, katamu. Aku lekas memejamkan mataku. Apa terasa sakit? tanyamu. Aku menggeleng. Bagus, katamu. Kau menyuruhku membuka mataku kembali pertanda semua sudah selesai. Mulai hari ini, kau memiliki mata Nona Ma, ingat itu ya, katamu. Aku mengangguk, gembira, dan lupa bertanya kenapa tukaran mata bisa semudah itu?
Aku baru sadar kau menipuku ketika aku berumur delapan tahun. Aku mendapat cermin indah, oleh-oleh Bapak sepulang dari Batavia. Yang kulihat di cermin itu, mataku sama sekali tidak sipit, melainkan lebar, bola matanya terlalu besar. Namun, aku tidak marah kepadamu, melainkan tertawa sampai mataku berair dan memerah. Bagaimana aku mau marah, kau dan seluruh keluargamu sudah pindah. Baba menutup toko kelontongnya dan kalian kembali ke Kota Manna. Setelah kalian pindah, satu bagian lantai satu rumah kami itu tidak Bapak sewakan lagi kepada orang lain. Aku sering bermain di sana. Membaui sisa-sisa aromamu dan nona-nona lain. Aku tidak mencari aroma Baba yang bau tembakau karena pasti mengganggu lambungku.
Bagaimana, Nona Ma? Aku menepati janjiku, kan? Aku tidak pernah melupakanmu. Ah, Nona Ma? Nona Ma? Kau sudah pergi, ya? Kenapa cepat sekali? Kau sama sekali belum berbicara kepadaku. Aku tidak tahu perjalanan hidupmu setelah pindah dari lantai satu rumah kami. Dengar-dengar dari Ibu Muda, kau dijodohkan dengan lelaki yang tidak kau sukai. Aku tidak terlalu percaya kabar itu. Ibu Muda suka bergosip. Meski aku ini anak kandung Ibu Muda, aku lebih percaya kepada Ibu Tua. Kata Ibu Tua, kau tidak boleh begitu pada ibumu. Ibu Tua itu memang baik hati. Kau juga lebih suka Ibu Tua, Nona Ma? Ibu Tua sering memberimu kue-kue bikinannya. Akulah yang mengantar kue itu ke lantai bawah.
Baiklah, Nona Ma, kau tidak mau bicara denganku. Apa orang mati memang dilarang bicara? Kau tidak perlu kembali ke hadapanku untuk menjawabnya, Nona Ma. Pulang saja ke tempatmu. Semoga kau tidak kurang sesuatu apa pun di sana. Pulang sana, Nona Ma. Jangan kembali ke sini lagi. Ah, bukan begitu, Nona Ma. Kapan-kapan kau boleh datang lagi, ya. Kau tahu aku kesepian sekali di sini. Beruntung orang-orang sepertimu mau menemuiku. Kemarin aku kedatangan Nona Sarah—entahlah, aku tidak yakin siapa namanya. Kau pasti ingat Nona Belanda yang pernah berkunjung bersama tuan berkumis pirang ke rumah kami, kan? Nona Sarah juga tidak berubah setelah ia mati. Ia tetap cantik. Rambutnya masih merah. Aku tidak menyukai rambutnya itu, Nona Ma. Kau jangan bilang padanya, ya. Kata Bapak, jangan bikin marah orang Belanda. Mereka teman-teman bapakku dalam perdagangan kopi, rempah, dan kain. Mereka sering menjamu bapakku di Batavia sana.
Sudah, Nona Ma. Aku tidak mau bicara denganmu lagi.
Nona Ma?
Ah, kau benar-benar sudah tak ada rupanya.
“Sepanjang malam nenekmu bicara di kamar.”
“Bicara pada siapa?”
“Nona Ma. Roh orang dari masa lalunya.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Nenekmu yang bilang ketika ditanya Tante Upi.”
“Itu karena ia butuh teman.”
“Tante Upi juga bilang begitu.”
“Ibu belum bisa pulang untuk membantu Tante Upi?”
“Ibu tidak mungkin sering-sering pulang ke sana. Jarak kota ke kampung terlalu jauh. Kau tahu, Ibu ini sakit-sakitan. Lagi pula, Ibu tidak pernah betah tinggal lama-lama di sana. Ibu tidak tahan mendengar nenekmu yang selalu rewel. Nenekmu yang minta ini dan itu. Ditambah lagi sekarang. Nenekmu tidak tidur bermalam-malam dan bicara dengan orang-orang mati. Bisa-bisa Ibu lebih dulu mati ketimbang nenekmu kalau memaksakan diri ke sana.”
“Hmmm. Tante Upi bilang apa lagi?”
“Makan nenekmu makin banyak, tapi badannya tambah kurus saja. Tinggal tulang dan kulit.”
“Ia pasti terlalu bosan bertahun-tahun tinggal di dalam kamar itu.”
“Nenekmu tidak mungkin dibawa ke kota. Usianya hampir seratus tahun. Tulang-tulangnya sudah keropos semua.”
“Aku tahu, Bu, bukan tinggal di kota yang diinginkan Nenek.”
“Kau kapan akan pulang?”
“Kalau saja pekerjaan bisa ditinggalkan, Bu.”
Kau? Sungguhkah kau bayiku itu? Akhirnya kau datang juga. Limima. Itu nama yang diberikan kepadamu. Nama yang juga mengingatkanku kepada Nona Ma. Aku sengaja memasukkan “ma” ke dalam namamu. Itu caraku menghargai sesuatu yang ingin kuingat dari masa kecilku. Bapakmu bilang, itu nama yang sempurna. Bapakmu menjagamu bermalam-malam, menggantikan aku yang lelah. Nina bobo, nina bobo. Anak manis, anak manis, bujuknya membuaimu. Kau cepat sekali tertidur bila mendengar suara bapakmu itu. Namun, di kemudian hari, aku sering berkata kepadamu, jangan nangis, Limima, jangan nangis ya. Saat itu, kau memulai hidupmu sebagai anak tanpa bapak. Aku membisikkan kepadamu tentang kematian lelaki itu di suatu pagi. Dia mati dibunuh! Dan, kembali kubisikkan itu kepadamu, Limima: dia mati dibunuh.
Ah, lelaki itu. Ia telah dibunuh atas tuduhan yang sangat keji: pencuri. Jangan nangis, Limima, kataku waktu itu membisikimu. Aku tahu kebenarannya. Aku tahu ia bukan lelaki seperti itu. Namun, sekarang kita lupakan saja semuanya. Sudah saatnya kita menutup semua kesedihan. Aku hanya mau mengatakan, puluhan tahun aku merindukanmu. Bayi mungilku. Bayi tercantik yang pernah lahir dalam sejarah. Orang-orang membicarakan kecantikanmu itu. Siapa namanya? Limima. Wah, cantik sekali. Mata bening mata air. Pipi kemerahan. Kulit bersih. Rambut tebal mayang. Namun, siapa sangka kelahiranmu dibuntuti kesedihan demi kesedihan. Setahun setelah bapakmu mati, kau menyusul begitu saja. Tanpa tanda. Tanpa sakit panas. Tiba-tiba aku menemukanmu telah dingin di bawah selimut. Matamu setengah terbuka. Mulut kecilmu menyunggingkan sekilas senyum. Apa kau yang telah memilih sendiri kematianmu itu? Kenapa terlalu cepat? Aku belum sempat mendongengimu seperti Bapak, Ibu Tua, dan Ibu Muda mendongengiku di waktu kecil.
Kenapa kau tidak bicara, Limima? Atau merengek. Menangis. Biar kau kubujuk. Nina bobo, nina bobo. Limima sayang, jangan menangis.
“Tante Upi menyerah.”
“….”
“Tante Upi menelepon Ibu sambil nangis kemarin. Nenekmu tidak pernah tidur setiap malam, berbicara terus dan bicara terus. Tante Upi bilang, cukup. Dia tidak sanggup lagi.”
“ ….”
“Nenekmu akan ditinggal sendirian di rumah itu.”
“….”
“Bukan betulan sendirian. Tante Upi menitipkan nenekmu pada satu orang perawat dan satu orang pengurus rumah tangga. Tante Upi sendiri yang mendatangkan perawat dari kota.”
“….”
“Tante Upi ingin bebas. Dia berhak untuk itu.”
“….”
“Apa yang dilakukan Tante Upi tidak salah.”
“….”
“Dia hanya mau bebas. Itu saja. Sejak kecil ia sudah menemani nenekmu. Ia tidak pernah pergi terlalu jauh dari rumah.”
“….”
“Tante Upi tidak salah, ya. Tante Upi tidak salah.”
“….”
“Nenekmu juga tidak salah karena tidak mati-mati. Hu-hu-hu.”
“….”
“Apa kamu mendengar Ibu? Halo? Halo? Halo?”
“Ya, ya, Bu. Ibu tadi bilang apa? Kenapa Ibu menangis? Aku menerima telepon Ibu sambil membereskan pekerjaan. Akhir bulan selalu begini, Bu. Tumpukan laporan harus diselesaikan.”
Sekarang giliran kau yang datang padaku. Durais. Suami yang tidak pernah kucintai. Kau dan aku sama-sama tahu tentang itu. Cintamu pun sudah kau serahkan pada istri pertamamu yang mati saat melahirkan bayi kalian. Bayi perempuan yang kemudian menyusul kematian ibunya. Sungguh kelam langit yang melingkupi perjalanan hidup kita. Di bawah langit yang kelam itu kita dipaksa untuk melanjutkan kehidupan bersama-sama. Awalnya, aku menolak. Kau pun begitu.
Akan tetapi, lama setelah itu, tahu-tahu kita memiliki dua anak.
Tahu-tahu aku melepasmu dengan penuh tangis waktu kau dijemput tentara pusat dan dibawa ke kota kecamatan karena kau dituduh melindungi pemberontak dua orang tentara hutan yang sembunyi di rumah kita. Kau ditahan berbulan-bulan. Kau kemudian pulang dengan tubuh kurus kering dan penuh luka.
Tahu-tahu, kita pun punya dua anak lagi, hingga seluruhnya menjadi empat.
Kau mengaku sangat menyayangi anak pertamamu dibanding yang lain. Anak lelaki yang selepas sekolah lanjutan memilih bekerja di kapal. Ia jarang sekali berada di daratan. Kalaupun ada kesempatan untuk itu, ia tidak pulang ke rumah kita, melainkan ke rumahnya sendiri di Pulau Jawa. Beberapa kali kau dan aku ke sana. Tempat itu asing untuk kita. Sehari di sana kita sudah gelisah. Anak kedua dan ketiga kita berada di Kota Bengkulu. Kita cukup sering ke sana, ketika masih cukup kuat. Di sana pun, sama. Kita tidak kerasan berlama-lama. Anak keempat kita, satu-satunya yang mau tinggal bersama kita: Upi. Ia tidak lahir dari rahimku dan bukan juga bagian dari darahmu. Namun, ia yang paling mencintai kita.
Aku mau menangis saat mengatakan semua ini kepadamu. Apa aku sudah adil kepada Upi? Puluhan tahun aku membebaninya, sampai-sampai ia lupa dengan hidupnya sendiri. Aku sudah berkali-kali meminta kematianku, terlebih setelah kau meninggalkanku, setelah aku mengantar kerandamu. Nyatanya, aku masih saja hidup. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menunggu hari akhirku itu.
“Baru saja Tante Upi telepon.”
“….”
“Nenekmu mati.”
“ ….”
“Tante Upi bilang—ia menangis terus saat menceritakannya—Nenek mati tertelungkup di kamar mandi. Perawat tidak tahu bagaimana nenekmu bisa sampai ke sana. Saat kejadian itu, perawat sedang tertidur pulas. Tante Upi minta, jangan salahkan perawatnya—Tante Upi terus saja menangis.”
“….”
“Kau dengar, nenekmu mati. Tante Upi tidak tahu apa-apa. Perawat itu juga.”
“….”
“Jangan salahkan mereka.”
“….”
“Nenekmu mati.”
“….”
“Nenekmu mati. Halo. Nenekmu mati. Sekarang Tante Upi sudah tidak mau tahu. Halo? Halo?”
“….”
“Bagaimana Ibu bisa menghadapi ini sendirian? Tante Upi bilang, sudahlah, jangan membicarakan kematian itu terus, semua sudah lama sekali berlalu. Apa kau tahu apa yang dimaksud Tante Upi itu?”
“….”
“Tante Upi juga bilang Ibu sangat kesepian seperti nenekmu dulu dan butuh kehadiran kamu. Tante Upi pasti salah paham tentang Ibu.”
“….”
“Halo? Halo? Apa kau sudah tahu kalau nenekmu mati? Halo? Kenapa kau tidak pernah menyahut lagi?”
“….”
***
Rumah Kinoli, 2018
Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.