Perempuan yang Tubuhnya Mengandung Api

ILUSTRASI: Aprililia

Terdengar suara perempuan sedang mengobrol dengan Ibu di ruang tamu. Antara tersadar dan tidak Makuku mendengar. Hingga sempat pula ia terseret ke dalam mimpi barang sebentar perihal obrolan ibunya dan tamu itu. Samar terdengar tamu itu mengundang Ibu untuk menghadiri pesta pernikahan putri sulungnya. Bergegas Makuku membangunkan dirinya hingga benar-benar terbangun, terduduk, lalu berlari menuju ruang tamu. Tak mampu ia menunggu untuk berucap hal yang entah sudah berapa kali ia ucapkan.

Mengerut kening Ibu memandang Makuku berdiri diam di hadapannya dan tamunya. Menganga mulut mungil Makuku tanpa suara. Seperti berkata tapi tak bersuara. Menitik perlahan air mata gadis delapan belas tahun itu mengikuti alur wajahnya yang segi. Menarik napas dalam ia, lalu menganga mulutnya, tapi tak juga ada suaranya. Terperanjat tamunya melihat api yang muncul tiba-tiba menghabiskan perlahan undangan pernikahan yang terletak di atas meja. Makuku berbalik dan bergegas menuju kamarnya.

“Makuku, Makuku!”

***

Makuku kini beranjak dewasa. Gadis itu tumbuh cantik, seakan memaksa lelaki untuk melirik. Setiap hati mereka selalu merindu, namun tak ada yang berani mengganggu. Makuku itu cantik, kata mereka. Jika kau adalah air, akan kau buktikan sendiri kecantikannya. Ketika buliran air membasahi kepalanya, air itu akan melewati perjalanan terindah seumur hidupnya. Air akan bebas meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alur wajah yang elok itu. Kemudian, buliran air itu bergelayut di dagu seginya hingga perlahan jatuh menitik ke bumi. Seakan tak mau melepaskan diri dari paras cantik perempuan itu.

Entah apa sebab Makuku selalu tak pedulikan mereka. Tak ada yang tahu. Ingin rasanya hati Makuku berteriak pada orang banyak tentang keresahannya selama ini. Diurungkannya niatnya karena ia yakin orang-orang akan menyebutnya orang aneh. Tapi tidak denganmu. Makuku akan menceritakannya, hanya padamu.

Anak-anak kecil riang gembira berlari di rumah besar milik Tante Ima. Beramai-ramai berlarian di sela-sela pelaminan yang belum terpasang rapi. Sesekali ditegur mereka oleh ibu-ibu. “Jangan lari-lari. Orang sedang memasang pelaminan.”

Makuku kecil duduk diam di sudut ruangan. Melihat lekat-lekat beberapa orang sedang memasang pelaminan. Dibayangkannya Tante Ima duduk manis di sana bersama mempelai laki-lakinya. Mengenakan pakaian adat berwarna merah menyala. Berulang kali diucapkannya dalam hati, pernikahan ini pesta dan pesta itu adalah saatnya bergembira. Pernikahan Tante Ima adalah sebuah kegembiraan tersendiri bagi Makuku. Tante Ima begitu dekat dan lekat dengan Makuku sedari ia lahir, merangkak, berjalan, hingga mampu berlari kencang kini. Tante Ima bagi Makuku sudah seperti ibu kedua. Bahkan, dalam seminggu, Makuku menghabiskan tiga harinya bersama Tante Ima. Bermain bersamanya, ikut pergi ke kantornya, hingga menginap dan ditidurkannya dengan dongeng.

Namun, ia melihat kursi pengantin diduduki oleh sepasang makhluk serupa kelelawar berkepala manusia, tak memiliki leher, bersayap, dan bermata merah. Mereka mengenakan pakaian adat berwarna merah menyala. Seketika Makuku melonjak bangkit dari duduknya lalu berlari entah ke mana.

Makuku kecil duduk diam di pinggir jalan di depan rumah Tante Ima. Matanya memerah dan tak berkedip sedikit pun. Warna kuning kemerahan mendominasi pandangan Makuku. Orang-orang mulai berhamburan ke luar dari rumah besar yang berada di kompleks perumahan mewah itu. Sepasang matanya yang kini memerah dan berair mencari-cari keberadaan ibu dan ayahnya, juga Tante Ima dan calon suaminya, serta sanak saudara lainnya. Makuku hendak berlari ke dalam rumah namun tak sanggup ia melepaskan dirinya dari pelukan seseorang—entah siapa. 

Menangis sejadi-jadinya Makuku ketika mendapati ibu dan ayahnya berlari keluar rumah dengan selamat, tak luka sedikit pun. Berpelukan erat mereka bertiga sepuluh menit kemudian ketika mendengar kabar bahwa Tante Ima dan calon suaminya sudah terbakar di dalam.

***

Adalah Kanou, seorang lelaki yang juga selalu merindu Makuku. Ia mengenal Makuku setahun lalu, semasa ia dan keluarganya baru menetap di kampung yang sama dengan Makuku. Entah sudah kali keberapa Makuku menyatakan dengan jelas kepada Kanou bahwa ia tak ingin menikah. Namun, Kanou tak pernah mendapat alasan yang jelas dan masuk di akal dari Makuku. Entah sudah kali keberapa pula Kanou meyakinkan Makuku bahwa tak ada yang salah dengan pernikahan dan pesta pernikahan.

“Sudah berkali-kali kubilang, aku hanya tak ingin pesta pernikahan!” jawab Makuku singkat.

Kanou menggelengkan kepalanya. Berputar keras otaknya mencari cara yang kesekian. Tak pernah terukir sejarah dalam keluarga Kanou jika tak ada pesta pernikahan dalam sebuah pernikahan. Sudah pernah ia utarakan pada keluarganya tentang permintaan Makuku. Namun, tanggapan keluarganya membikin Kanou merasa benci mencinta. Ibu Kanou bilang, tak ada pesta pernikahan, tak ada Makuku. 

Makuku enggan mengubah ketidakinginannya entah sampai bila. Ibunda Makuku agaknya paham benar Makuku. Tak pernah ia mencoba lagi untuk mengubah pandangan Makuku tentang pesta pernikahan.  

Antara percaya dan tidak keluarga Kanou dengan cerita orang-orang kampung tentang Makuku. Entah apa yang tak wajar di dalam diri Makuku, setiap ada pesta pernikahan, ada-ada saja yang terbakar meskipun hanya sehelai sapu tangan. Pernah suatu waktu, ibu Kanou mendengar kabar dari kerabatnya yang tinggal di kampung sebelah. Ketika Makuku menghadiri pesta pernikahan di sana, rumah tersebut terbakar habis tinggal puing. Peristiwa kebakaran tersebut dikorankan, didatangi polisi dan ambulans yang membawa empat korban. Dua orang di antaranya adalah sepasang mempelai yang tak berapa lama kemudian tak bernyawa lagi.

Sekali dua kali terjadi begitu. Satu dua orang menunjuk Makuku sebagai penyebabnya. Makuku diam saja, menutup mulutnya rapat, dan mengumbar senyum cantiknya kepada siapa pun yang ia jumpai. Hingga suatu masa, tak ada yang menggelar pesta pernikahan. Entah selama beberapa bulan, Makuku kerap kali didesak kelelawar berkepala manusia itu.

Enam bulan kemudian, seorang lelaki datang meminang kakak sulung Makuku. Tampaknya lelaki tersebut cukup mapan dan telah mengenal kakak dengan baik. Tak tampak keraguan pada Ayah dan Ibu, mengingat sudah bertahun-tahun kakak berkasih-kasihan dengan lelaki tersebut. Pesta pernikahan pun direncanakan. Segala persiapan telah matang hingga lima bulan kemudian ketika pesta dihelat. 

Pesta pernikahan kakak dihelat sederhana namun meriah. Segalanya merah menyala. Kakak semakin cantik dengan pakaian adat berwarna merah. Begitu pula dengan kakak ipar Makuku, terlihat gagah. Namun, kegagahan itu tak ada artinya lagi ketika nyawa sudah tak lagi di badan. Terisak-isak tangis kakak dalam pelukan Makuku ketika mendapati suaminya terbaring di lantai. Tubuh yang masih berbalut baju pengantin itu hangus terbakar oleh api yang entah dari mana berasal.

***

“Terima kasih telah membantuku selama ini. Karenamu, sudah 12 pengantin telah kuserap energi panas dalam tubuhnya. Energi itu sudah cukup bagiku untuk memulihkan kekuatanku. Aku memang tak salah memilihmu. Sudah sedari awal aku tahu kau memiliki potensi, sejak pertama kali aku memelukmu menjelang pernikahan tantemu. Kau terlampau baik. Terima kasih untuk pengorbananmu pada tante dan kakakmu. Aku tak akan mengganggumu lagi. Tubuhmu kini tak lagi mengandung api karena kini kau …”

Mengembang seimbang senyum Makuku di hadapan kelelawar berkepala manusia, tak memiliki leher, dan bermata merah itu. Makuku bergegas meninggalkan makhluk aneh itu sebelum kalimatnya selesai.

Sepanjang perjalanan pulang, diingat-ingatnya pertemuan demi pertemuan dengan kelelawar itu. Ketika pertama kali Makuku dipeluk semasa pesta pernikahan tantenya, kemudian entah berapa kali setelah itu kelelawar itu muncul tiba-tiba di hadapan Makuku. Makuku begitu meyakini bahwa kelelawar tersebut adalah wujud lain dari suami Tante Ima yang mati terbakar di hari pesta pernikahannya. 

“Aku begitu mencinta tantemu. Izinkan aku membahagiakannya dengan caraku. Namun, aku tak mampu sendiri. Aku butuh pertolonganmu.” Makuku mengangguk setuju tanpa tanya, tanpa ragu. Kehilangan Tante Ima merupakan salah satu episode paling sedih dalam kehidupannya.

***

Aku tak akan berulah lagi. Tak akan ada lagi api, tak akan ada lagi yang terbakar. Seekor kelelawar telah membisikkan padaku caranya sore ini. Makuku melenggang gembira menuju pulang. Bernyanyi-nyanyi kecil ia, antara terdengar dan tidak. Sudah menyusun-nyusun kalimat ia dalam hati. Terbayang olehnya raut wajah Ibu ketika ia menyampaikan kabar ini nanti. 

Tiupan angin jelang senja membikin barisan pohon bambu menari ke kiri ke kanan. Beriringan dengan lenggang gembira Makuku. Sendiri ia berlari kecil hingga tak peduli lagi ia sudah langkah ke seribu berapa. Makuku menghentikan langkahnya di depan rumah Kanou. Menggenang air matanya hingga melimpah, mengalir hingga tulang pipinya, lalu menitik. Kanou tampak gagah dengan setelan baju marapulai berwarna merah. Kanou sibuk memperbaiki roki, destar, dan keris yang diselipkan di pinggang kanannya. Ia sibuk minta dipotret oleh fotografer yang entah enggan entah bingung dengan perintah Kanou.

Ramai tamu yang hadir di rumah Kanou, namun hanya beberapa yang menyalaminya. Kebanyakan dari tamu undangan berbalik pulang. Tak ada senyum, tak ada gelak tawa gembira. Hingga berjalan sekumpulan ibu-ibu mendekat ke tempat Makuku berdiri mematung.

Terdengar jelas obrolan ibu-ibu itu oleh Makuku. Seorang ibu berkali-kali mengucap kasihan kepada Kanou. Terenyuh hati ibu itu ketika Kanou memintanya untuk menyalami dan mengucapkan selamat kepada istrinya, Makuku. 

“Saya bingung. Entah harus bagaimana saya menyalami Kanou.”

“Saya juga begitu, Bu. Iba hati mendengar kabar dari ibunda Makuku dan ibunda Kanou. Kanou pasti merasa kehilangan sekali,” ujar ibu yang lain.

“Entah bagaimana pula caranya membatalkan baralek—pesta pernikahan. Undangan sudah disebar, orang di luar kampung kita masih banyak yang belum tahu bahwa pengantin wanitanya membunuh dirinya kemarin malam.”

Tersentak Makuku mendengarnya. Lalu diamatinya benar tubuhnya. Api berkejar-kejaran dari ujung rok panjangnya. Menitik air mata Makuku melihat kukunya menghitam kelam pekat dan kulitnya memerah terkelupas. Mata berairnya merah menyala seperti merah nyala api membakar rumah Kanou.

“Tubuhmu kini tak lagi mengandung api karena kini kau menjadi pelengkap pengantin yang ke 13.” (*)


Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top