
Di jalan mendaki anak itu tertahan sebentar, menghela napas, menjinjing kantung plastik berisi rempah-rempah, cabai keriting, dan ikan asin kering yang bau amisnya meruap hingga ke hidungnya. Siang itu ibunya menjemput ke sekolah sekalian mengajaknya ke pasar untuk belanja kebutuhan dapur selama satu minggu. Dari sebentang jalan landai di sisi kanan persimpangan itu, dia melihat orang-orang di kejauhan, sedikit mengecil dari ukuran dewasa biasanya, keluar masuk di sebuah rumah. Para ibu rumah tangga, anak-anak, dan pemuda setempat tergopoh-gopoh turun. Ada yang menggendong bayi, lainnya beriringan dalam perbincangan yang riuh. Saat berpapasan, salah seorang menerangkan keadaan di seberang sana kepada ibunya. Dia sayup-sayup mendengar dan pandangannya beralih dari rumah itu ke ibunya berkali-kali.
“Ada apa di sana, Bu?”
“Tidak ada apa-apa.” Ibunya mendekat, lalu menarik lengannya. “Ayo, kita pulang!”
Selagi menuju rumah mereka saling diam, hanya engahan napas dan bunyi kertakan batu di bawah sol sepatu. Sudah bertahun-tahun tak ada pengaspalan jalan di kompleks militer itu, seolah-olah sengaja dibiarkan ala kadarnya dengan batu-batu kerikil yang mencuat. Mereka baru sebulan mengontrak rumah tipe 36, milik seorang Sersan. Hampir setengah perumahan disewakan oleh para pemiliknya, selebihnya dihuni para pensiunan. Satu-dua rumah di setiap deretan blok kandas digerogoti rayap, melompong kosong ke belakang tanpa daun pintu dan jendela. Cat kapur pada dinding-dindingnya pun memudar, tinggal naungan alang-alang rimbun dan kesepian yang bertahan.
Mereka sejenak mengaso di teras rumah, lalu dia masuk, menaruh semua kantung belanjaan di meja dapur dan kembali ke samping ibunya, meletakkan teko berisi air setengah dan dua cangkir kaleng dari kait jari-jarinya. Sehabis dua tegukan, ibunya melengos ke dapur. Dia pun menyalin seragam putih merahnya di kamar, menyurukkan baju kaos dan celana pendek yang belel, tapi agak ragu keluar rumah dengan menenteng kaleng biskuit yang berderak karena butir-butir kelereng. Meski ibunya memunggunginya, dia langsung dihadang pertanyaan.
“Mau ke mana?”
“Aku boleh main di luar, Bu?”
“Tapi jangan ke bawah, ya!” Ibunya menegaskan.
Empat laki-laki paruh baya dengan kaki telanjang melintas di seberang rumahnya, memanggul karung penuh rumput, dan arit di tangan dikepal erat. Saat menuruni anak tangga, dia langsung menunduk karena tatapan sinis mereka kepadanya. Mereka penduduk desa dari kaki bukit, setiap siang menyusuri setapak jalan di antara ladang-ladang yang terbengkalai di bawah sana, menyabit rumput di belakang kompleks militer itu untuk pakan domba dan kuda. Tapi mereka sudah dicap sebagai pencuri, bahwa mereka suka menimbun ayam dan sandal di dalam karung itu. Jangan pernah berkawan dengan mereka, kata tetangganya. Anak-anak kompleks hanya diberi tahu itu saja dan harus mematuhi. Anehnya, di lingkungan sendiri tak boleh terlihat akur, sementara di sekolah mereka mesti berbaur. Tak jarang perkelahian kecil terjadi dan tak dapat disesalkan karena sudut pandang orang tua masing-masing.
Dua blok dari sebelah rumah muncul seorang tetangga yang punya kebiasaan ingin tahu yang besar. Selintas menanyainya, lalu memilas ke dalam menyapa ibunya dari ambang pintu. Lagi masak apa? Setelah ada percakapan di dalam, dia kemudian pergi diam-diam. Ibunya pasti sedang diliputi rasa sungkan berjam-jam ke depan, sehingga tak akan sempat mencarinya. Tapi setiap beberapa meter dia masih berbalik untuk memastikan sampai di simpang jalan, kemudian belok kiri, dan kaleng kelerengnya dipeluknya kuat-kuat. Orang-orang berdiri berjejalan di depan rumah itu, menutupi sepasang jendela tinggi dan pintu yang menganga. Suara mengaduh dan makian terdengar hingga ke luar. Dia lalu menyelinap ke sela-sela kerumunan itu, tak ada larangan bagi anak-anak di situ.
Di ruangan yang berdebu itu seorang laki-laki tanggung duduk di kursi besi teralis, dan di sejajaran lututnya ada sebuah meja dialasi tripleks. Kualitas kedua perabotan itu terlihat buruk dari tiap siku yang dilas asalan. Orang-orang masuk bergantian, berdada tegap dan lingkar otot yang telah ditempa beban dan perintah. Mereka membentaknya dengan aksen lokal yang kasar. Wajahnya yang sudah lebam dipaksa menengadah meski perutnya ditekuk karena menahan hantaman kaki, kepalan tangan, dan helm, sementara pergelangan tangan dijerat tali jemuran di belakang sandaran kursi.
“Ngaku kowe!”
“Ngaku siah!”
“Kau yang mencuri pisang, ya?”
“Curi kambing juga, hah?”
“Sendal, ayam juga!”
“Apa lagi yang kau curi?”
Pencuri adalah hama. Di mana-mana nasib pencuri pasti berujung mengenaskan. Seperti celeng yang dikeroyok segerombol anjing pemburu di arena berlumpur. Orang-orang yang hidupnya dibayangi kebosanan butuh hiburan semacam itu. Dan mereka yang melaratlah menjadi korban. ‘Jangan sampai kelaparan membikin kau bodoh,’ anak itu teringat cerita abangnya. Kebanyakan tentang hal-hal buruk di luar sana: seorang pencopet di bus, penjambret tas dan kalung perhiasan, hingga perkelahian para preman di terminal. Tapi dia merasa senang karena cara abangnya yang humoris saat menuturkan. Sejak peristiwa kerusuhan di kota yang menyerbu pertokoan milik etnis Cina, mereka sekeluarga lalu pindah tanpa diketahui abangnya. Seluruh perabotan serta pakaian dibuntal dengan kain-kain gorden. Selama satu bulan dia pun tak pernah lagi bertemu abangnya.
Satu pertanyaan disusul hantaman keras. Tak ada gunanya bicara. Dan tak seorang pun mau melerai penganiayaan itu. Kemarahan terus menyulut. Justru kerumunan orang di luar menyorakinya, seolah mengalami kerugian yang sama. Makanya jangan mencuri, ya! kata orang di sebelahnya. Anak itu tak memedulikannya, anak-anak lain juga. Pandangannya masih ke lelaki itu.
Keadaan makin tegang. Salah satu kaki meja diletakkan di punggung kaki lelaki itu, dan saat diduduki meluapkan rintihan yang menyayat, sambil bibirnya dijepit mulut tang. Ampun, Pak! Hanya itu diulang tanpa henti dengan sisa tenaganya. Satu orang lagi masuk mengambil alih, membawa gulungan wayar berkulit hitam merah, mencocokkan ujungnya yang terkelupas ke steker dan ujung lainnya dilekatkan ke mulut lelaki itu hingga mengejang. Suara lelaki itu melemah, tertunduk disertai darah kental yang meleleh.
Dari balik kerumunan, seorang gadis menerobos ke dalam. Suara tangisnya meledak. Dipeluknya lelaki yang sekarat itu dengan segenap kepiluan, menjerit-jerit ke muka semua orang di sana, lalu jatuh terduduk, mendongak sambil memegangi kaki si penganiaya. Bayangan ajal seakan tampak mencolok pada seragam gadis itu yang berlumuran darah. “Dia adik perempuan pencuri itu, kan?” orang-orang yang berdiri di balik kaca jendela dan ambang pintu saling berbisik, dan mencibir tanpa belas kasih sedikit pun. Suasana itu persis seorang anak saat memohon kepada ayahnya karena berbuat salah, dan hanya anak itu yang tersentuh hatinya hingga meneteskan air mata.
Amarah kedua lelaki penganiaya itu sedikit demi sedikit surut. Tambah lagi ketika nenek dari gadis itu masuk, mengajaknya pulang. Suara kasak-kusuk pun berangsur tenang. Dia menggeleng agak menolak. Biarkan saja, sudah terlanjur, Nak! Setelah nenek itu berkata, mereka keluar sambil berangkulan. Isak tangis masih mengalun tersendat-sendat hingga di tikungan jalan. Salah seorang mengangkat dagu lelaki itu, memastikan, lalu menarik tangannya kembali sehingga kepala lelaki itu terkatung-katung tak berdaya. Cepat bawa ke rumah sakit, lanjutnya dengan nada lega. Orang-orang mulai agak panik, merasa aneh dengan gerak-gerik raut salah seorang penganiaya itu seakan kebingungan, tergesa-gesa keluar dan membalap sepeda motornya untuk menjemput mobil ambulans. Orang-orang satu demi satu berbalik dan bubar setelah mendengar dengung sirene.
“Dari mana saja kau,” wajah anak itu tampak kusut. “Kau kenapa?” lanjut ibunya.
Anak itu tak membalas satu kata pun, langsung menyelinap ke kamarnya, menutup pintu, berbaring miring di atas tilam tipis yang dialasi tikar. Ibunya cemas anaknya mendadak pendiam. Dia tanggalkan pekerjaannya di mesin jahit, sehelai kain masih melekat di mata jarum. Seutas meteran menggantung meliuk pada tengkuknya membentuk lengkungan ladam. Dia tepuk-tepuk sisa benang guntingan yang melekat di pakaiannya sambil berjalan mendekati kamar anaknya. Terdengar bunyi kertak pintu dibuka.
“Kau belum makan tadi siang. Tidak cukup cuma sarapan di sekolah. Cepat ambil piringmu sana, nanti perutmu sakit,” ibunya pelan membujuk dari ambang pintu.
Azan Ashar mengalun dari masjid kompleks yang berada jauh di bawah sana. Beberapa orang dalam sebuah percakapan melintas di luar rumah, agak sayup-sayup. Ibunya masih menunggu hingga dia bangun dari tilamnya. Anak itu mendekat dan memeluk. Ibunya memegang pipinya sambil mengamati wajah anaknya. “Mukamu murung sekali. Kalau begitu kau mandi dulu, baru makan, ya?” kata ibunya. Anak itu mengangguk, lalu mengambil sehelai handuk dari gantungan di balik pintu.
Sedari tadi dia belum mau menceritakan kejadian itu kepada ibunya. Rambutnya masih agak basah, duduk sambil menyandarkan punggungnya ke dinding dengan menekuk kedua lututnya. Satu telapak tangan menahan pantat piring, sedangkan tangan lainnya lambat menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya, karena bayang-bayang wajah lelaki itu membuatnya sesekali melamun. Tak lama kemudian dua saudara perempuannya pulang. Yang kurus baru kelas 1 SMA, satunya lagi kelas 3, dan mereka mesti menempuh sekolah dengan dua kali menumpang kendaraan umum. Meski suasana rumah berubah jadi ramai oleh percakapan mereka, anak itu masih tetap sesekali melamun.
Setelah azan Ashar tadi, sebuah kabar duka menyusul dari pelantang masjid. Tetangga dari dua blok sebelah dengan gerakan gesitnya hendak menyelonong ke dalam rumah. Ibunya lalu menyambut suara tetangga itu di pintu, menahannya agar tak berlama-lama bertandang seperti siang tadi.
“Bu, bu, bu … ada warga yang meninggal di blok bawah!”
“Astaga!” kaget ibunya.
“Tahu enggak, Gara-gara mencuri satu tandan pisang dari kebun Pak Tono, anak muda itu dihajar sampai mati.”
“Benarkah?”
“Ih, kalau saja orang di masjid mengabari siang tadi ada pencuri lagi dihakimi, pasti saya tidak ketinggalan.”
“Lho, kok gitu, Bu?”
“Aduh, Bu. Ini penting sekali, karena sudah berhari-hari nenek si maling itu minta pisang. Maklum mereka keluarga paling miskin di kompleks ini. Itu pun mereka tinggal di rumah itu cuma gratis, supaya terawat gitu, kata yang punya.”
***
Palagan, 2019
Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.