Majalah Aneka Minang: Satu Tahun yang Bermakna

Kehadiran majalah Aneka Minang (Amina) pada awal tahun 1972 dapat dikatakan kabar membahagiakan bagi perantau Minang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Amina menjadi ruang untuk saling bertukar informasi, bersilaturahmi, mengetahui kabar terbaru dari rantau dan kampung, juga memberikan hiburan sekaligus semangat bagi para perantau untuk kian memperteguh niat meninggalkan kampung halaman.

Perihal tersebut terhimpun dalam beragam catatan di berbagai kolom dalam Majalah Amina terbitan 1-15 (1972-1973). Amina adalah niat baik dari para pencetusnya untuk menyuguhkan sebuah bacaan “urang awak” yang “berbau rendang” dan dapat menghimpun informasi mengenai rantau dan kampung. Periode ini, menurut awak redaksi Amina, beberapa perhimpunan lokal perantau memang telah mempunyai majalah berkala yang dicetak secara stensilan. Hanya saja sebagian besar majalah itu kebanyakan membahas persoalan internal organisasi. Sehingga terbetiklah cita-cita untuk menghadirkan majalah yang bisa diterima oleh semua organisasi dan semua golongan masyarakat di Indonesia, khususnya puak Minangkabau. Ide tersebut bermula dari Moenir Latif, Ketua Yayasan Minang di Jakarta. Ia pada waktu itu juga menjabat Direktur Bank Nusantara Cabang Tanah Abang. Keinginan untuk merealisasikan cita-cita mengenai majalah “urang awak” itu kemudian hari mempertemukan Moenir Latif dengan awak redaksi Amina.

“Kapalo Jamba” (liputan khusus) Amina nomer 15 (awal tahun 1973), dalam rangka memperingati setahun berdirinya majalah tersebut, menerangkan bahwa kandididat awal muncul dan ditawarkan untuk menggarap Amina adalah sastrawan Taufiq Ismail yang pada waktu itu menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Namun Taufiq menolak karena berbagai kesibukannya dan menawarkan nama Nazif Bazir.

Dari usulan itulah Moenir Latif kemudian melakukan kontak pertama dengan Nazif Bazir bekas Pimpinan Mingguan Singgalang di Padang yang baru saja “hijrah” ke Jakarta. Dalam pertemuan awal Nazif dengan Moenir, ia memberikan masukan bahwa majalah yang dicita-citakan Moenir haruslah digarap secara profesional. Harus dicetak secara baik, tidak stensilan, dan bersifat komersil. Sederhana saja pandangan Nazif, bahwa para perantau Minang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia, tersebar di mana-mana, dan mereka mempunyai pandangan hidup “aneh”. Dalam artian, kian jauh perantauan mereka, kian besar sentimentalia mereka terhadap kampung halaman.

Nazif mencoba mereka-reka hitungan, lebih kurang 400.000 “Si padang” (Orang Minang) berada di Jakarta, jika lima persen saja pembeli rutin majalah yang direncanakan itu maka oplah untuk daerah Jakarta 20.000. Dengan oplah itu, belum dihitung para perantau Minang di daerah lain, majalah dianggap sudah dapat melangsungkan hidupnya dari waktu ke waktu. Moenir menyambut dengan baik ide dari Nazif. Yang terpenting bagi Moenir, buatlah “urang awak” (pembaca) bangga untuk mengapit-apit majalah kampungnya sendiri hingga mereka tidak berkeberatan untuk mengeluarkan uang Rp.100,- sekali 15 hari.

Setelah pertemuan Moenir dengan Bazif kemudian disusun rencana untuk mengurus Surat Izin Terbit (SIT) pada Departemen Penerangan (Deppen). Sebelum mengurus SIT, muncul pula perdebatan mengenai apakah akan dibuat semacam Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan untuk menaungi majalah yang akan terbit. Yayasan kemudian dipilih, dengan pemikiran bahwa modalnya tidak terlalu besar dibandingkan PT. Nama kemudian “Yayasan Aneka Minang” dipilih dengan penuh pertimbangan. Pada awalnya muncul usulan untuk memberi nama “Yayasan Varia Minang”, tapi nama itu akan membahayakan karena majalah “Varia Baru” baru saja dicabut SIT-nya oleh Deppen. Dengan penamaan “varia” bisa jadi Deppen akan menganggap “Varia Minang’ punya hubungan dengan “Varia Baru”. Penamaan “Aneka Minang” juga dianggap sebagai sebuah keberanian, “sebab ia sudah menjamin adanya pembatasan-pembatasan, bahwa apa-apa yang akan dimuat dan dipublisir di dalamnya, akan sangat terikat kepada adat Minang yang keras dan ketat, serta terkungkung rasa fanatisme ke-Agama-an yang peka,” tulis redaksi Amina.

Nama “Aneka Minang” kemudian diusulkan untuk dibuatkan akte notaris pada bulan Agustus 1971 pada notaris Johni Woworuntu. Dengan susunan personalia yayasan: Moenir Latif (Ketua), Naizf Bazir (Wakil Ketua), Boer Emmis (Sekretaris), Elly Kasim (Bendahara), dan Delsy Sjamsumar (Anggota). Selain jajaran persolania, sebagai syarat dibutuhkan pula calon Pemimpin Redaksi, dan Nazif Bazir diusulkan karena pengalamannya dianggap paling sesuai untuk memimpin Amina ke depan. Pengusulan SIT berlangsung selama tiga bulan, bulan September 1971 diajukan, barulah akhir Desember 1971 SIT keluar. Setelah SIT didapat muncul masalah baru yang lebih pelik, tentu saja modal penerbitan dan siapa yang akan menjadi awak redaksi.

Mencari Modal dan Awak Redaksi

“Kita bukan menerbitkan majalah hiburan umum. Saingan pasti tidak ada. Pembaca sudah jelas, minimal 40.000 orang Minang di Jakarta. Tentu mereka mau membeli majalah orang kampung mereka sendiri,” optimisme Boer Emmis saat mencari model untuk penerbitan Amina. Tapi dibutuhkan modal besar untuk menerbitkan majalah pada periode itu. Setidaknya pengurus yayasan harus mempunyai modal Rp. 6.000.000,- untuk kebutuhan 10 kali terbit, baru majalah bisa stabil. Hal tersebut diperdebatkan oleh pihak yayasan dengan melirik pada penerbitan Majalah Tempo yang populer pada waktu itu. Pihak Tempo, setidaknya menyediakan modal Rp. 20.000.000,- sehingga keuangan mereka stabil. Akan menyulitkan bila Aneka Minang hanya mempunyai modal unutk 4-5 kali penerbitan awal saja.

Pengurus Yayasan Aneka Minang dalam pencarian modal berupaya untuk menghubungi beberapa tokoh perantau yang dianggap mapan untuk menjadi sponsor. Tapi optimisme berubah kekecewaan karena komentar orang-orang yang dianggap sebagai tokoh. “Sudah di Jakarta, masak majalah kampung juga yang diterbitkan,” komentar beberapa tokoh. Beberapa tokoh lain dianggap enggan, bahkan takut dianggap “daerahisme”, “sukuisme”, takut menonjolkan ke-Minang-an mereka, bahkan ada yang beranggapan akan memperkecil diri mereka karena telah berskala nasional.

Berbagai cara terus dilakukan para pengurus yayasan untuk mencari modal, tapi nihil hasilnya, hanya jawaban diplomatis yang didapat dari para tokoh dan pengusaha Minang. “Tentulah jawaban diplomatis ini, semacam basa-basi saja. Sesuai dengan keahlian orang Minang dalam bersilat lidah, untuk menolak sesutu yang sebenarnya ia memang tidak suka. Tak kurang pula pengusaha-pengusaha Urang Awak yang dihubungi. Tetapi semua boleh dikatakan nihil belaka,” kenang Redaksi Amina.

Peluang terbuka ketika salah seorang pengusaha minang tanpa pretensi mendukung penerbitan majalah Amina. Ia adalah Hasuda, pemilik rumah makan “Roda”, rumah makan dan restoran yang cukup terkenal di Jakarta pada periode itu. Hasuda yang pada awal merantaunya pernah pula menjual koran dan buku menyambut niat baik dan berjanji membantu dan berharap usaha penerbitan Amina tidak “angek-angek cik ayam”—beberapa iklan Resoran Roda kemudian dimuat dalam terbitan Amina. Modal kemudian terkumpul dan dibuatlah perjanjian kontrak dengan perusahaan cetak PT Bumi Restu di Jalan M.T. Haryono Jakarta.

Dalam kotak redaksi terbitan pertama majalah tersebut tertulis Rusli Dahlah SH (Pimpinan Umum), Moenir Latif (Pimpinan Perusahaan), Nazif Bazir (Pemimpin Redaksi/penanggung Jawab), Delsy Syamsumar (Wapemred/Penjab), Sjamsoeir Arif, Juss Parmato Intan, Ojon Am, Muchlis Muchtar (Staf Redaksi), Agus Latif, Bungsu Press, Juni Wardy (Fotografer), Taufiq ismail, Suwardi idris, Motinggo Boesje, Marwan Zein (Pembantu Tetap), Boer Emmis (Penatalaksana), Elly Kasim (Sekred/Wapenlak). Untuk menghimpun awak redaksi Amina periode awal dapat daikatakan sebagai “gotong royong” saja dan sesuatu yang tidak terduga. Juss Parmato Intan misalnya, yang juga dikenal lama ikut membantu Mingguan Singgalang dari Jakarta tiba-tiba muncul pada awal rencana penerbitan Amina. Muncul pula Yunir Wardi yang dikenal berprofesi di bidang fotografi. Beberapa seniman Minang seperti Sjahrul (Tarun) Jusuf dan Masrul Mamudja yang dikenal sebagai pencipta lagu Minang kemduan ikut membantu karena mereka tinggal di Jakarta. Lalu muncul pula Ojon Am bekas perwakilan Aman Makmur. Periode awal penerbitan Amina, menurut awak redaksi memang dianggap sebagai “manajemen lapau”, dengan landasai “awak samo awak juo” dan mau bersitungkin bersama-sama, dan tidak terlalu diteliti prestasi dan pengalaman.

Kandas Setahun Terbit

Rencana terbit berkala sekali 15 hari memang tidak terlaksana oleh awak redaksi Amina. Berbagai persoalan merundung. Terlebih persoalan keuangan akibat telatnya pengiriman uang dari agen-agen majalah di berbagai daerah. Setidaknya gambaran itu yang dapat terbaca dari catatan redaksi Amina. Ulang tahun pertama dan terakhir majalah Amina. Meskipun redaksi tidak menjelaskan bahwa majalah tersebut tidak akan terbit lagi. Tapi dari catatan biografi singkat Nazif Bazir tampak Amina hanya terbit tahun 1972-1973 kemudian didirikan majalah “Varia Minang” hingga tahun 1975.

Amina boleh dikatakan majalah unik khusus mengenai kemajuan orang-orang Minang baik di kampung dan di rantau. Meliputi kesenian, sejarah, wisata, politik, dan lain hal. Banyak kabar-kabar penting diserta foto-foto yang hari ini dapat dijadikan referensi tentang bagaimana orang-orang Minang berjuang di kancah nasiolan dan membangun kampungnya sendiri. Penulisnya pun beragam dan berisi kabar-kabar penting dan ide-ide bernas dari tokoh-tokoh ternama dari Sumatera Barat. Banyak liputan-liputan khusus dan berita-berita ringkas penting dari majalah tersebut yang dapat dijadikan rujukan perbandingan untuk kemajuan Sumbar hari ini atau perubahan sosial perantauan puak Minang. Tak terkecuali untuk hiburan, Amina menyuguhkan tulisan renyah dan “garah” yang sangat menarik untuk diteliti.


Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top