Setelah perburuan atas kaum Komunis mereda, orang-orang menjadi lebih rajin beribadah. Masjid-masjid penuh sesak. Bahkan surau atau musala yang selama ini terabaikan, di sana-sini lapuk dan nyaris rubuh, juga ramai didatangi jemaah.
Malam itu, di sebuah surau reot di tepi lembah, yang tonggak dan tiangnya pada guyah, papan-papan lantainya juga berlepasan di sana-sini, seorang ustad sedang memberi ceramah. Sang ustad, yang tidak kondang-kodang amat, yang datang jauh-jauh dari ibukota kecamatan, bernostalgia tentang zaman yang baru saja berlalu, ketika ulama acap direndahkan dan kaum agama dicemooh, ketika Tuhan sering dihina dan Komunis berkuasa. Tapi sekarang, Allah ta’ala Maha Kaya, keadaan berbalik. “Tuhan menghukum mereka dengan pecutnya”.
Dan jemaah tertawa. Dan setelahnya, berselang-seling di antara nukilan-nukilan hadis dan ayat, serta nasihat-nasihat untuk ke akhirat, kelucuan demi kelucuan bertabur di sepanjang pengajian. Pandai betul ustad kita ini bertablig sekaligus melucu. Kaji masuk, hati bahagia. Jemaah tak henti dibuat tertawa, bahkan sampai terpingkal-pingkal sembari memegangi perut mereka. Dan lantai surau yang pakunya telah banyak lepas berderak-derik tak karuan dibuatnya.
Di tengah pengajian, yang menyihir dengan humor-banyol, seorang bapak-bapak justru sedang berurai air mata, meringkuk memegangi lututnya.
Setelah tawa reda, ada jeda beberapa nada, dan di tengah jeda itulah, dari sudut saf laki-laki, terdengar isak-tangis. Pada mulanya pelan saja, namun perlahan mulai meninggi.
Orang-orang mahfum, lelaki paruh baya itu pada zaman sebelumnya terkenal sebagai parewa, suka sesumbar memperolok agama, acap berjudi dan mabuk, nyaris tak pernah sembahyang, bahkan Jumatan pun tidak. Tapi setelah Gestapu, dia semakin siak—taat.
“Mungkin dia teringat masa-masa kelamnya,” kata seorang jemaah laki-laki.
“Merasuk betul agaknya kaji Ustad ke hatinya,” kata seorang ibu dari saf perempuan.
Sang ustad mengangguk-angguk setengah bangga. “Biar saya coba menenangkan,” sembari berjalan ke arah si jemaah yang sedang berkesedihan.
Karena penasaran, kaum ibu mengikuti si ustad, menyeberangi saf laki-laki, berkerumun di sekitar korban. Akan tetapi, semakin banyak jemaah yang datang ke arahnya, justru semakin keras tangisnya.
“Sudahlah Pak, yang berlalu biar berlalu. Allah Maha Pengampun atas kesalahan hambanya. Sekarang kita sudah di zaman yang baru,” kata ustad itu berjongkok memberi nasihat sembali mengelus punggung lelaki itu.
Karena tidak dapat lagi menahan sakit, dengan wajah semakin meringis dan kedua tangan yang semakin keras meremas-remas tempurung lutut, lelaki setengah baya itu akhirnya berbisik-keras ke telinga ustad, “Barang saya terjepit papan, Tad!”
Tawa jemaah pun kembali pecah. Kali ini jauh lebih keras dan renyah.
***
Apa yang bisa kita katakan dari cerita ‘tragis’ semacam ini?
Pertama, secara psikologis, trauma tumbuh subur di masyarakat setelah melewati kekacauan dan kekerasan massal. Dan agama akan dianggap memberi obat penenang.
Di sisi lain, agama juga menyediakan tempat istirah dari deraan rasa bersalah dan keresahan moral yang sering timbul akibat pembunuhan massal.
Kedua, penguasa Orde Baru dan lembaga-lembaga keagamaan masa itu telah memperkuat agama sebagai identitas bersama dan simbol moralitas warga negara dalam menentang musuh-musuh yang hendak merongrong bangsa, negara, dan agama.
Orang-orang lantas melihat agama sebagai benteng perlindungan dari bahaya Komunis, yang dicitrakan sebagai atheis durjana pembenci Tuhan dan kejam.
Sekalipun PKI telah dilarang penguasa, pemimpin serta simpatisannya dilenyapkan, ideologinya dianggap ancaman yang laten.
Beragama karenanya menjadi penanda ‘bersih diri’ maupun ‘bersih kampung’ dari ideologi atau partai terlarang itu. Dengan tidak menunjukkan ketaatan beragama, seseorang atau sekelompok orang akan sangat rentan diberi cap pendukung PKI.
Stigma itu telah terbukti ‘memusnahkan’ hayat berpuluh hingga beratus ribu orang di Indonesia. Ingatan akan itu masih amat segar ketika itu. Bahkan masih berputar-putar dalam liang penglihatan. Lubang-lubang bekas pembantaian mungkin masih menguarkan anyir bangkai. Jejak-jejak puntung api barangkali masih terlihat pada bekas-bekas bangunan yang terbakar, dan seterusnya, dan seterusnya.
Ah, sudahlah. Dari pada berpanjang-panjang berlagak, begini sajalah:
Lelaki setengah baya yang ‘barangnya’ terjepit papan surau dalam kisah di atas itu jelas tidak pakai sempak. Orang-orang dulu memang jarang yang pakai kolor, apalagi di kampung-kampung. Hemat, lagi pula, sehat. (***)
Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.