Setara, The Real Power of Mak-mak di Kalimantan Barat

DOK. SETARA

Setelah penyesuaian sana-sini, ke Pontianak, Kalimantan Barat, jadi juga. Setelah tiga bulan persiapan Penguatan Komunitas Sastra, untuk pertama kali Kalimantan terjejaki. Menemui Komunitas Suara Literasi Membara (Setara) yang lolos beserta 29 komunitas lain dalam program Penguatan Komunitas Sastra, Kementerian Kebudayaan.

Seminggu sebelum berangkat, kongko-kongko lah bersama Heru Joni Putra, Adi Osman dan Tiara Sasmita di sebuah kafe daerah Cikini. Heru baru balik dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia di Tim Penguatan Festival. ‘Goncangannya, ndeeh,” kisahnya. “Teman saya langsung menjadi pendoa khusyuk,” tambahnya.

Juga, seorang teman tinggal di Singkawang. Konco palangkin sewaktu SMA. Sering vidcall. Giginya bagian bawah sudah tanggal dua. Namun, badannya masih kekar. Ia sering pesan, kalau ke Kalimantan Barat, berkabarlah.

Begitu memasuki kamar, saya kabari. Istrinya yang menjawab. Uda sadang di lua, infonya. Hitungannya, kalau tidak delay, setidaknya saya bisa bertemu sore dan kembali usai isya. Sekarang, sudah terlalu sore. Jika nekad, mungkin akan kembali siang besok. Itu akan melewatkan acara Setara yang berlangsung pukul 9 pagi di Aula Khatulistiwa, milik Balai Bahasa Kalimantan Barat.

Dan melengahkan kegiatan yang sudah tiga bulan disusun, sungguh berat.

Kementerian Kebudayaan meluncurkan program progresif. Penguatan Komunitas Sastra menjadi kegiatan yang dianggap bisa mendistribusi perbincangan buku sastra lebih meluas. Dan, tentu saja membantu toko buku independen mendapatkan musim penjualan lebih baik. Ada 100 buku yang masuk daftar yang bisa dijadikan subjek diskusi. Rata-rata, pemenang dan nominasi penghargaan buku sastra di Indonesia. Plus, terbitan lima tahun belakangan.

DOK. SETARA

Dana yang diluncurkan juga beda dengan model Banpem atau Indonesiana, misalnya. Tidak ada model yang ditawarkan. Komunitaslah yang menawarkan programdan anggaran. Meski pagu ditetapkan, itu tak lebih karena ketersediaan anggaran.

Dari pengajuan proposal itu, memang kelihatan, pucuk masalah yang ada di komunitas, terutama yang berada di luar Pulau Jawa; tata kelola. Ada yang mengajukan hanya lima juta rupiah saja. Bahkan, ada mengaku takut mengajukan anggaran tinggi karena resiko ditolak.

Didapatlah data 167 komunitas. Diundang sebanyak 120 berdasarkan teritori via daring. Dari situ, tim memilih 30 dengan beragam pertimbangan. Tentu saja, termasuk pemerataan.

Lolosnya Setara juga berkisi. Kontak didapatkan dari seorang teman penggiat budaya. Ahmad Syofyan namanya. Termasuk jajaran sastrawan terkemuka di Pulau Kalimantan. Sewaktu berkabar pertama, ia mesti berjalan sejauh dua kilometer untuk menelepon. Tanya ini-itu, ia menyerahkan tiga nama kelompok. Termasuk Sastra Di Ruang Publik, miliknya.

Setara ada di urutan kedua. “Yang nomor tiga sudah tidak aktif lagi,” ujarnya.

Karena urusan administrasi, kami tidak berkontak lagi. Sewaktu zoom meeting, saya heran, nama Pak Ahmad tidak ada. Saya kontak. Ia balas, tidak dapat pemberitahuan. “Bapak liat IG?”. Tak ada jawab. Media sosial memang syarat priroritas karena program penguatan ada di bawah Direktorat Pengembangan Budaya Digital.

DOK. SETARA

Jadilah Setara, satu-satunya wakil dari Kalimantan Barat. Sebelum pengumuman, saya dihubungi Syarifuddin Kojeh. Nama itu tidak asing. Kami berbincang seolah lama tak bersua. Ia juga bagian Setara. Di kemudian hari, saya diingatkan sekretaris Setara, Lusi Ekarina. Ah, kenapa saya lupa. Ia teman sekamar sewaktu MUNSI (Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia) 2017.

Program Setara padat-merayap. Ada yang tiap minggu, juga bulan. Daring dan luring. Ada tiga kegiatan besar dengan 9 program turunan. Belum lagi ada rumah belajar. “… dilengkapi dengan fasilitas lebih dari 700 judul buku dengan berbagai genre, wi-fi untuk mendukung pembelajaran, serta pengajar yang komunikatif dan mengasyikkan.” begitu yang tertulis dalam profil.

Bicara (Bincang dan Bicara Sastra) masuk sebagai program baru jadi penampung. Pembicaranya, Pradono. Juga sastrawan kawakan di Kawasan Borneo. kumpulan puisi M. Aan Mansyur, ‘Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau’, jadi subjek perbincangan.

Di 31 Agustus itu, saya sengaja datang pagi ke lokasi. Masih lengang. Ibu Lusi menyambut. Beliau sempat menawarkan jemput ke bandara, sehari sebelumnya. Tentu, saya tolak. Ia juga mau bawa saya ke pinggir Sungai Kapuas, untuk minum kopi khas Kalimantan, tentu saya mengangguk. “Karena kopinya, sungai banyak di Sumbar,” tambah saya mencandai

Setara memang digerakkan oleh Mak-Mak. Hampir tak ada panitia laki-laki. Tujuh dari sembilan pengurus inti adalah perempuan. Ketuanya, Afiyah Sephi Marshanda, sarjana kedokteran. Ia anak Lusi.

Setara mereka bangun pasca Covid. Mulai 10-15 anak yang mau diajak membaca, berpuisi dan mendongeng di rumah mereka, Jalan Ampera Komplek Graha Ampera nomor A26 Pontianak. Dari situ, kemudian dikembangkan menjadi taman bacaan, kemudian komunitas literasi.

Sewaktu ruangan hampir penuh, Pradono muncul. Jika itu pertunjukan, teknik munculnya mengagetkan. Postur dan gestur, mengingatkan pada seseorang. Namun, sepanjang pertemuan tak sekali pun saya singgung. Seseorang itu saya wa. Yap, keduanya teman dekat sewaktu di Jakarta. “Mirip bana caro ngeceknyo jo Da Ir.” Nada heran masih tersisa di sana.

Selaiknya seniman, ada yang khas pada dirinya. Asbak dibawa sendiri. Berbentuk kantong. Sepertinya buatan tangan. Sangat fasih menjelaskan kesastraan dan kesenian Kalimantan. “Mana Syofyan? Mana Syarifuddin?”

Perbincangan dijeda oleh Haryudi, teman saya di Singkawang. “Alun nasib lai, ye,” katanya. Soalnya saya juga sudah pulang besok. Ia juga tak bisa mengunjungi ke Pontianak karena jarak tempuh.

DOK. SETARA

Diskusi berlangsung sampai siang. Yang hadir 90 persen juga perempuan. Perbincangan jadi hangat karena Pradono menjelaskan mulai dari kover sampai kenapa hurufnya terlalu kecil. Lalu, kenapa dalam semua puisi kata ‘dan’ diganti ‘&’. Dan tentu, licentia poetica, tentang kesemena-menaan penyair mengeksplorasi kebahasaan.

Jelang selesai, saya didatangi teman. Baru kenal di Jakarta saat diskusi terpumpun Festival Teater Indonesia, Akhmad Benyamin. Nama bekennya Beben MC.  Kemarin kami sudah wa-an. Namun, lepas magrib, tak ada kabar. “Hape saya hilang,” ujarnya.

Usai acara, Ibu Lusi mengajak saya makan siang. Tempat pertama yang kami tuju, tutup. “Pemiliknya meninggal,” ujar Dede Yetty Suminar, Bendahara Setara.

Tentu di tempat kedua, makan tak kalah enak. Di sana saya minta, Setara mengajukan proposal festival. Khas Kalimantan. Pradono bersedia menjembatani. Akan bekerja sama pula dengan seni lain. Namun, Beben yang kami tunggu tak muncul.

Baru usai makan, ia datang. Hape seken diperlihatkan. Bersama istri Pradono, yang urang Piaman, kami menuju sisi Sungai Kapuas. Pertama melihat, saya teringat Sungai Batanghari Jambi. Lebarnya persis. Juga, warna airnya. Namun, kopinya tetap enak. Robusta dengan kepahitan khas. Melenting ke langit-langit mulut.

Sama dengan kisah Pradono mengenai kesenian di Kalimantan Barat. Namun, dari berbagai perbincangan itu, Pradono menyebut peran Setara dalam beberapa tahun belakangan. Makanya, ia juga mau membuat postur proposal lebih detil. Melihat cara mereka membuat program, mengerjakan dengan konsisten, Setara memang The Real Power of Mak-Mak. Mereka menjaga kecerdasan literasi bangsa. Partisi penting tapi lengah.

Jelang sore, saya minta di antar ke Makam Syekh Mahmud Syarwani. Guru saya yang minta. Katanya, masih ada darah Minangkabau. Dan minta dipastikan di sana keterangan tersebut.

Pradono kaget. Bukan karena tak tahu tempatnya, tapi karena ada yang minta ke sana. Dan benar, seperti banyak makam di Nusantara, tempatnya tak terawat. Tak ada tempat bertanya. Tentu, saya sedih. Namun, saya masih berusaha berimajinasi: Seandainya, Setara yang merawat tempat ini?

* * *


Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top