Bagaimana Ivan Mengatasi Sesak di Dada

Ilustrasi: Aprililia

Setiap kali Ivan bertemu dengan Mila, ia merasa jatah hidupnya berkurang satu hari. Degup jantungnya menjadi tak beraturan, dadanya sesak, dan bayang-bayang perangai buruknya selama 31 tahun terakhir mulai berseliweran di kepalanya.

“Selalu seperti itu?” tanyaku ketika Ivan menceritakannya pada suatu sore yang renyah.

“Selalu seperti itu,” jawabnya.

“Kurang-kurangilah bertemu dengannya kalau kau tidak ingin cepat mati.”

“Tidak bisa, Bung.”

Ketika Ivan mengatakan tidak bisa, aku tahu, itu akan menyulitkan dirinya sendiri. Tidak sekali atau dua kali aku berada dalam situasi ketidakbisaan semacam itu. Pernah suatu kali, ia mengajakku untuk menemaninya melamar pekerjaan sebagai seorang pengecer jajanan kemasan dan kutanya padanya sebelum tiba gilirannya diwawancara, “Apa kau bisa menjadi pedagang?”

“Tidak bisa, Bung,” jawabnya, tegas dan tanpa hambatan.

Maka terjadilah hari-hari yang menyulitkan dirinya itu: pada pukul 6.25 pagi ia mesti menuntaskan mimpinya, mematikan alarm, dan mandi tujuh menit kemudian. Sebelum pukul 7.15 ia harus sudah menempelkan ibu jarinya ke mesin presensi kantor, dan kemudian beranjak ke lobi untuk berdiri dalam sikap istirahat di tempat dan mendengarkan arahan atasannya yang tak pernah bisa ia pahami. Setelah arahan dari atasannya itu selesai, ia segera melaju dengan motornya yang kerap batuk bila dipacu tergesa, menyinggahi kedai demi kedai untuk menjajakan dagangannya, dan menemukan kenyataan ditolak oleh mereka satu demi satu. Begitu setiap hari sampai dengan 14 hari kemudian ia dipecat karena ada atau tidak ada dirinya tidak berpengaruh apa-apa pada perusahaan itu.

Ia kembali menjadi penganggur, menghabiskan 18 jam hidupnya dalam sehari untuk bermain gim, meminjam uang pada tantenya yang sudah jelas tidak akan ia ganti, dan sekali seminggu memintaku menjemputnya karena ada yang ingin ia ceritakan. Hal yang kusebut terakhir inilah yang membuatku tidak ingin ia berada dalam kesulitan, sebab ketika ia berada dalam kesulitan ia akan menyeretku ke dalam kesulitan yang sama.

“Kau yakin tidak bisa untuk tidak bertemu dengannya?” tanyaku, mengulang pernyataannya.

“Tidak bisa, Bung,” jawabnya. “Setiap hari aku akan selalu bertemu dengannya. Selain itu, aku memang merasa jatah hidupku berkurang satu hari ketika bertemu dengannya. Namun, jika tidak bertemu dengannya aku tidak tahu untuk apa aku berumur panjang.”

“Matilah kau!”

“Sungguh, Bung.”

“Kau gemar menyusahkan dirimu sendiri.”

“Itu kenyataannya.”

“Kau gemar menyeret kesusahanmu padaku.”

“Maksudmu?” tanyanya seakan tak paham. “Kau keberatan aku bercerita padamu?”

Ini pertanyaan yang sulit. Aku tidak bisa dengan lantang mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka mendengar persoalan-persoalan yang ia sodorkan padaku. Aku berutang banyak padanya.

“Kau tidak ingat bagaimana dulu aku menyelamatkan hidupmu?” Ivan melanjutkan bicara karena aku tidak menjawab pertanyaannya. “Apa kau lupa bagaimana dulu nyaris setiap hari kau merengek padaku meminta sebungkus nasi dan sebungkus rokok sambil berjanji jika cerpenmu dimuat dan honornya telah kau terima kau akan menggantinya?”

Tidak bisa kubantah bahwa dulu aku selalu berutang padanya setiap hari dan membayarnya hanya dengan janji-janji. Aku tidak mungkin bisa melupakan bagaimana ia terus-menerus mengirimiku uang dan membantuku melarikan diri dari kejaran para penagih utang. Kini, aku barangkali bisa melunasi utang-utang uang yang kupinjam darinya, tapi utang budi, dengan apa mesti dibayar?

“Setidaknya, mendengarkan cerita-ceritaku adalah caramu melunasi itu semua,” katanya kemudian. “Lagi pula, kau bisa menjadikan cerita-ceritaku sebagai bahan cerpenmu, bukan?”

“Tidak ada orang yang mau membaca cerpen yang hanya berisi keluhan,” bantahku.

“Tapi aku sungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.”

“Kau berlebihan.”

“Lantas, bagaimana yang tidak berlebihan itu, Kawan?”

“Kurang-kurangilah bertemu dengannya.”

“Tidak bisa. Aku sudah mencoba. Sebagai penganggur, aku punya banyak waktu luang untuk diriku sendiri. Meskipun tidak beranjak ke luar rumah, aku masih bisa menemukannya di postingan dan story Instagram. Aku masih bisa melihat video liburannya di TikTok. Pertemuan-pertemuan satu arah seperti itu pun sudah cukup untuk membuat dadaku dihajar rasa sakit bertubi-tubi. Ditambah nyaris setiap hari tanteku mengundangnya ke rumah.”

“Kau akan mati perlahan karena itu.”

“Sepertinya begitu.”

“Apa ia tahu bahwa kau mencintainya?”

“Sepertinya begitu.”

Sepertinya begitu. Ivan tidak pernah bisa menyembunyikan rasa sukanya pada orang lain. Sekali kau membuatnya tertarik, maka hari-harimu akan dipenuhi oleh beragam gangguan darinya. Ia akan mengirimimu kutipan-kutipan puisi, rekomendasi film-film drama, tautan playlist lagu-lagu nelangsa, dan pulsa; untuk memastikan bahwa kau punya cukup kuota internet untuk membalas pesannya. Kau mungkin akan berkata, “Gampang, yang mesti kulakukan hanya membuatnya tidak tertarik.” Hei! Tunggu dulu, teman. Kau tidak akan bisa menebak bagaimana dan mengapa Ivan bisa tertarik padamu. Ia bisa saja tertarik padamu hanya karena caramu mengenakan sepatu.

Aku masih ingat bagaimana setahun lalu ia mati-matian mengais sedikit saja cinta dari dasar hati Jesika. Setahun penuh, 365 hari, ia tak pernah absen mengirimi perempuan itu puisi. Dan setahun penuh, 365 hari, Jesika tidak pernah absen mengabaikannya. Pada hari ke-366, Ivan berhenti mengiriminya puisi.

“Mengapa kau berhenti mengiriminya puisi?” tanyaku kala itu.

“Pesanku tidak bisa masuk. Sepertinya, aku sudah diblokir.”

“Omong-omong, apa yang membuatmu tertarik padanya?”

“Bung,” jawabnya, sambil kemudian tidur terlentang, melipat kedua telapak tangannya di bawah kepala, dan memandang langit-langit kamarnya. “Kau harus tahu bagaimana cara ia mengeluarkan kaus kaki dari dalam sepatunya, mengibaskan sepasang kaus kaki itu ke udara, menyeka kedua telapak kakinya satu per satu, dan kemudian dengan perlahan menyesakkan kaki kanannya ke dalam kaus kaki tersebut, disusul kaki kiri, memasukkannya ke dalam sepatu, dan selesai pada peristiwa agung ini: ia mengikat tali sepatunya dengan tiga jari tangan kiri dan dua jari tangan kanan.”

Jadi, sudah pasti, Mila tahu bahwa Ivan menyukainya.

“Apa yang membuatmu tertarik padanya?” tanyaku. Dan dua detik kemudian menyesal telah mengatakan kalimat tanya itu sebab aku tahu bahwa pertanyaan itu akan membawaku ke dalam lubang hitam penyesalan. Aku menghitung mundur dalam hati sambil menyiapkan telingaku untuk mendengar kisah yang tidak nyaman. Ketika hitung mundur itu selesai, Ivan berdiri, kemudian beranjak ke arah meja kerjaku, membuka laci dan mengusainya seperti mencari sesuatu. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia kembali dan duduk di hadapanku.

“Anggap paku ini adalah jarum pentul.”

“Kau mencari paku?”

“Sebenarnya bukan paku yang aku cari. Aku mencari jarum pentul. Tapi karena yang ada paku, anggap paku ini adalah jarum pentul,” katanya sambil menyodorkan paku itu kepadaku. “Coba sematkan paku itu di sela-sela rambutmu.”

“Maksudmu? Untuk apa?”

“Coba saja. Sematkan paku itu di sela-sela rambutmu.”

Meskipun enggan, aku tetap mencoba ikut dalam permainannya. Kusematkan paku itu di sela-sela rambutku. “Seperti ini?”

“Benar. Seperti itu. Tapi tidak menarik,” jawabnya. Aku masih belum bisa menebak ke mana arah semua ini. Ia melanjutkan, “Bung, kau harus melihat bagaimana cara Mila menusukkan jarum pentul ketika ia mencoba menyambung tali tasnya yang putus.”

Astaga.

Ia menutup matanya dan memberi jeda semenit setelah mengatakan itu dan kemudian menceritakan bahwa pada saat Ivan membawa garapan teaternya ke pulau di seberang kota ini, Mila termasuk dalam rombongannya. Mereka menghabiskan delapan hari di pulau itu. Sebagai tim medis yang dibawa untuk memastikan kondisi kesehatan anggota rombongan, Mila tidak pernah lupa mengingatkan anggota rombongan untuk selalu makan yang cukup dan menenggak multivitamin bila dirasa perlu. Ivan yang kala itu kesehatannya agak terganggu menjadi sering berinteraksi dengan Mila. Mulai dari membantu mengingatkan makan sampai dengan mengantarkan obat tiga kali dalam sehari dan ketika Ivan enggan menenggak obatnya, Mila akan mengomelinya.

Ketika mereka akan pulang, di pelabuhan, tas Mila putus. Ivan yang saat itu kebetulan berjalan beriringan dengannya melihat tasnya tiba-tiba jatuh dan Mila bergegas memungutnya. Setelah ia periksa, ia menggelengkan kepala sambil menarik napas agak panjang. Ivan yang tahu Mila berada dalam kesulitan berniat membantunya, tapi Mila menolak dan berkata, “Aman. Aman.” Saat itulah, kata ‘aman’ menjadi salah satu kata kegemarannya sebab setelah kata ‘aman’ terucap dari mulut Mila, Ivan melihat bagaimana Mila mencopot sebuah jarum pentul dari kerudungnya, menggigitnya, dan dengan telaten menyematkan jarum pentul tersebut ke tali tasnya yang putus. Ivan yakin sambungan itu tidak begitu kuat. Tapi Ivan juga yakin ada sesuatu yang berdebar sangat kuat di dalam dadanya.

Di perjalanan pulang, tiga jam di atas kapal, Ivan memutar ingatan akan peristiwa menyematkan jarum pentul itu berulangkali di kepalanya. Dan ketika kakinya kembali menginjak tanah kota ini, ia merasa tubuhnya menjadi ringan dan akan melayang-layang di antara kenangan yang tercipta delapan hari ke belakang. Hal-hal yang sebelumnya luput dari perhatiannya, mulai berusaha ia ingat-ingat lagi; ia berusaha mencari detail-detail dari hal kecil itu. Ia berusaha mengingat bagaimana nada suara Mila ketika ia mengomelinya, bagaimana cara Mila mengembangkan bibirnya ketika tersenyum, bagaimana jari-jari Mila mencengkeram kotak P3K, bagaimana langkah kaki Mila ketika berjalan terburu-buru, dan bagaimana-bagaimana yang lain. Selama itu ada Mila di dalamnya, ia akan berusaha untuk mengingatnya.

“Mengapa tidak kau katakan saja padanya bahwa kau menyukainya?” tanyaku.

“Menurutmu baiknya seperti itu?”

“Belum tentu baik. Tapi setidaknya kau sudah mencoba.”

Tapi sebaiknya ia tidak perlu mencobanya.

Aku yakin Mila pasti tahu bahwa Ivan menyukainya dan Mila tidak memedulikan hal itu. Setiap kali Ivan mengirim pesan ke ponselnya, Mila tidak pernah membalas. Dan hal seperti itu, bukanlah yang pertama kali. Seperti yang sudah kuceritakan, Jesika pun pernah melakukan hal yang sama. Dan, kau tahu, Jesika adalah orang ketujuh yang melakukan hal seperti itu. Setiap tahun, ia akan jatuh cinta pada perempuan yang berbeda, tapi karena alasan sama yang selalu diulang-ulang.

Delapan tahun lalu, ia meneleponku pada tengah malam dan mengatakan bahwa degup jantungnya tak beraturan dan dadanya sesak dan ia merasa akan mati. Aku yang tahu saat itu ia hanya tinggal seorang diri di rumah tantenya, segera menyalakan motor dan bergegas menujunya. Sesampainya di sana, aku menemukan ia sedang memaki-maki seseorang di dalam ponselnya. Ia sedang bermain gim.

“Kau baik-baik saja?”

“Tidak. Teman mainku parah semua.”

“Kau baik-baik saja?” tanyaku, mengulang pertanyaan yang sama dengan geram.

“Aku baik-baik saja, Kawan. Sebentar. Kutuntaskan dulu permainan bodoh ini.”

“Kau tidak benar-benar sakit, Ivan?”

Ivan sadar getar suaraku berbeda. Ada amarah tertahan yang ia rasakan dari getar suaraku itu. Ia kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku. “Kupikir karena kau pengarang kau paham apa itu hiperbola.”

Ingin kulampiaskan seluruh amarahku tapi kemudian ia mengajakku ke sebuah kedai nasi di dekat rumahnya. Ia menyuruhku memesan apa pun yang aku mau dan perutku yang menahan mual seharian karena lapar tidak bisa menolak. Seusai makan, ia bercerita padaku bahwa ia sedang jatuh cinta pada seorang perempuan dan setiap kali ia bertemu perempuan itu, ia merasa bahwa jatah hidupnya berkurang satu hari. Cerita itu berulang setiap tahun dan seperti yang sudah bisa kautebak, Mila adalah tokoh utama untuk tahun ini; tokoh kedelapan.

“Kau kan sudah lama mengenalnya, menurutmu, apakah Mila juga merasakan hal yang sama?” tanya Ivan.

“Setiap kemungkinan bisa saja terjadi.”

“Tapi, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan jika ternyata ia pun merasakan hal yang sama.”

“Jadi apa maumu?”

Ponselku berdering. Kulihat layar dan nama Mila tertera di sana. Kuambil ponselku, beranjak ke luar kamar, kujawab panggilan itu, dan terdengarlah getar suara gelisah, “Halo, Bung. Ivan di sana? Astaga, dia lupa membawa obatnya.” []

Kasai, November 2024


Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top