Azimat Palembang

Ilustrasi: Aprililia

Gulungan azimat terbuka. Aroma debu dari samar rajah mengudara. Petang itu, jarum jam mampir di angka lima. Tapi langit Leiden masih menyala seperti bakda Zuhur di Lubuklinggau. Meski gerimis sempat renyai dari pagi, sejak tiga puluh menit yang lalu sinar matahari tumpah menguyupi kota yang akan saya tinggalkan lima hari lagi.

Bulu kuduk saya meremang.

Saya membuang pandang ke jendela kaca.

Di kejauhan, potongan puisi dari epos I La Galigo yang tercetak di tembok kanal Lipsius menjadi latar perahu karet penuh penumpang yang melintas di bawah jembatan.

Saya mengerjap-ngerjapkan mata.

Saya pindai lagi azimat yang terbuka di atas bantal di atas meja kayu. Seorang peneliti dari Jerman di seberang melihat saya sejenak sebelum kembali sibuk dengan sebuah batu yang ia bersihkan dengan kuas di bawah penerangan semacam lampu belajar yang disiapkan pihak perpustakaan.

“Aplikasi scanner saya error, Bang,” lapor saya pada Arman, periset manuskrip Lampung yang juga sedang melakukan residensi di Leiden, di telepon. “Ini sudah paket premium,” kata saya ketika ia meminta saya membeli paket pemindai berbayar.

Saya beranjak ke luar ruangan karena tampaknya aduan ini akan berlangsung lama dan biasanya saya gagal mengontrol volume kalau sedang semangat bercerita. “Baik,” kata saya ketika laki-laki 48 tahun itu meminta saya ‘menjaga jarak’ dahulu dengan azimat itu.

***

Di apartemennya, saya menyimak cerita Arman tentang ratusan pindaian manuskripnya yang hilang karena ponselnya tertinggal di kereta ketika residensinya tahun 2018. Ia juga bercerita tentang peneliti perempuan yang didatangi seorang nenek beberapa hari setelah ia membawa manuskrip mantra dukun beranak. “Aneh tapi nyata,” katanya seraya menyalakan rokoknya. “Kau mungkin harus lebih mempersiapkan diri.” Kali ini ia terdengar seperti pertapa yang memberi saran kepada pengembara yang baru keluar rumah.

Dua hari kemudian, saya mengerjakan Duha dan mengaji lebih lama dari biasa dan, oleh karenanya, saya merasa sangat siap.

Good news!” Erl, pustakawan paruh baya berperawakan tinggi besar tersenyum lebarnya ketika saya tiba di Special Collection Room pukul 9.30 alias tepat ketika ruangan itu baru membuka layanannya. “Kenapa tidak mencoba lagi versi mikro filmnya?” Ia mengerling, dan masih tersenyum.

Oh, pustakawan itu bahkan mengingat saya sebagai peneliti yang dua kali gagal memindai azimat dari bentuk fisiknya sebulan yang lalu. “Tapi saya belum  …”

“Tenang,” potongnya. “Saya akan pesankan di web perpustakaan.”

Tentu saja saya merasa tersentuh dengan kepeduliannya. Pengalaman pahit dengan perpustakaan di beberapa kota di Tanah Air tiba-tiba menyambangi saya. Dari jam operasionalnya yang berakhir lebih cepat dari jadwal, hingga para petugas dengan kualitas pengetahuan dan pelayanan yang jauh dari memadai.

Lima menit kemudian, setelah menandatangani berkas penerimaan manuskrip digital, saya menuju ruangan pemindai berkas digital yang dipisahkan oleh sebuah ruang baca umum di lantai dua. “Ah,” batin saya. “Benar kata Bang Arman. Saya memang harus memantaskan diri untuk ‘benda-berisi’ berusia ratusan tahun ini.”

“Aku selalu mengelus manuskrip yang hendak kubaca atau kupindai atau kufoto dari kiri ke kanan dengan lembut sebelum meletakkan rantai pembatas di tepi halaman,” terangnya ketika ia membuatkan kopi untuk saya di apartemennya pagi itu. “Kita ini tamu atau bahkan orang asing. Manuskrip itu bukan sekadar benda. Mereka memuat sejarah, cerita, atau bahkan darah dan kepedihan tak terkira.”

Meski terdengar hiperbolik, saya tak punya pilihan selain mendengarkannya.

Klise foto saya letakkan di antara dua kaca tipis yang ditembaki sinar pemindai dari sebuah alat khusus yang terhubung dengan komputer.

Allah. Tak satu lembar klise pun yang menunjukkan rangkaian aksara. Semua menjelma batu hitam yang ditembak cahaya tajam dari belakang. Azimat itu merupa objek korban backlight.

Saya mendatangi Erl. Pria itu sedikit tak percaya dengan laporan saya. Ia mengambil klise di alas kaca alat pemindai dan berkata, “Saya akan cek dengan alat di kantor,” serunya.

Sepuluh menit kemudian dia kembali. “Kadang-kadang, hal ini memang terjadi.” Ia menggeleng kesal.

Saya putuskan mengambil jeda. Setelah menukar koin plastik biru muda dengan segelas cappucino, saya menghabiskan dua potong roti gandum isi cokelat di tepi kanal di belakang perpustakaan. Teratai yang sedang berbunga mengambang di dekat jenjang, bebek-bebek yang melintas, dan gremengan mahasiswa yang sibuk membincangkan tugas … oh, mereka juga membicarakan Indonesia. “Hoe zou Indonesië het schilderij van Raden Saleh willen meenemen als hun vorig jaar gerepatrieerde cultuurgoederen in hun nationale galerij werden verbrand? Droom gewoon!”

Oh, ternyata terbakarnya Galeri Nasional tak lama setelah repartriasi 472 benda budaya Indonesia dari Belanda tahun 2023 itu menjadi gorengan mahasiswa Leiden (atau bahkan masyarakat kota ini?)! Oh.

Untuk menetralisasi rasa malu, saya meninggalkan perpustakaan. Berjalan ke pusat keramaian di timur kota. Membeli sekilo ceri dan sekotak stroberi di Dirck. Setelah menikmati secangkir cokelat hangat di Vlot, kafe yang mengambang di tepi kanal di pusat kota, saya menghabiskan buah dengan cita rasa manis dan asam itu dalam sekali duduk.

Saya mencoba melupakan azimat itu, tapi ingatan saya justru berlabuh pada percakapan Mak dan Papa tiga bulan lalu. “Setidaknya, kata dokter di Penang, kita harus siap dana satu miliar. Jantung Papa ini kasus serius.” Saya ingat. Hanya Mak yang bicara. Papa, antara pasrah dan berharap, hanya diam.

Minggu depannya, saya berhasil meyakinkan Leiden untuk memberikan saya undangan riset. Reputasi saya sebagai periset independen dengan luaran Katalog Musi Onder Afedeling enam tahun lalu, membuat urusan saya menjadi lebih mudah. “Ayah yakin azimat itu memang ada?” tanya istri saya ketika merelakan tabungan terakhir kami menguap menjadi ongkos pesawat dan biaya hidup saya selama dua bulan di Belanda.

“Salah satu orang paling jujur yang kita kenal adalah Neknang, Bund,” tegas saya. “Tak mesti dua bulan. Begitu azimat itu berhasil dipindai, Ayah segera pulang!” janjiku. “Maafkan Ayah yang belum berhasil mendapatkan sponsor.” Saya tahu, suara itu, sebagaimana air muka saya, terdengar sendu.

Sejak itu, siang-malam saya ngetem di Special Collection Room. Sayang sekali, kode unik koleksi yang Neknang terakan dalam catatannya tak tercatat di katalog. Barulah di hari ke-45 alias dua pekan sebelum residensi saya berakhir, saya menyadari kalau Neknang menulis huruf o, bukan nol; ia menulis 8, bukan 3. Tapi … apa gunanya? Azimat itu tetap tak bisa dibaca!

***

Tengah Juni yang basah, pada hari terakhir saya di Kota Puisi, saya mencoba peruntungan terakhir. Tepat pukul sembilan pagi, belum mandi-belum ngopi, saya mengenakan jaket dan sepatu, dan berjalan cepat di bawah gerimis musim semi.

Benar saja. Saya menjadi orang kedua yang tiba. Seorang laki-laki Jepang tampak baru saja mengambil sebuah manuskrip dari Martini, gadis tinggi semampai yang merupakan—dalam hati kerap saya puji sebagai—pustakawan paling cantik di ruangan itu.

Gadis itu membaca kode katalog pesanan saya. Dahinya berlipat tiga. “Kemarin sore, akses publik untuk Azimat Palembang kode ini diblok kurator.”

 Tubuh saya mati rasa. Seperti ada yang memaku kedua kaki saya.

“Di sini,” ia masih membaca layar komputernya, “tertulis bahwa manuskrip itu sedang didigitalisasi. Kita tak punya hak dan akses untuk meminta konfirmasi kurator.”

Saya paham peringatannya. Mungkin, ia melihat saya yang terlalu bersemangat—atau bahkan terburu-buru. “Kamu tahu?” kata saya lemah. “Ini hari terakhir saya di sini.”

Martini mengangguk. “Hampir dua bulan di sini, bukan?”

Saya mengangguk. Saya memang memindai azimat-azimat Palembang yang lain, tapi bukan dengan kode unik yang Neknang tuliskan.

“Bagaimana kalau kamu mendalami apa-apa yang sudah kamu dapatkan dulu?”

Ah, dia tak tahu apa yang sedang sebenarnya saya cari.

“O ya, saya sebenarnya tidak suka mengatakan ini, tapi …”

“Katakan saja,” kata saya, setengah bergumam.

“Bagaimana kalau azimat itu …”

“Kenapa? Kalau azimat itu kenapa?” kejar saya.

“Bagaimana kalau ia memang tak ingin bertemu.”

Saya menatap Martini. “Tak ingin bertemu saya?”

Ia mengangguk.  

“A … a … apa …?

“Kapan jadwal pesawatmu?” katanya seakan-akan menganggap keterkejutan saya merupakan ekspresi yang biasa ia hadapi.

“Malam ini. Pukul delapan.”

“Berkemaslah,” katanya. “Dan … seperti azimat itu, saya tunggu kamu dalam kunjungan berikutnya. Siapa tahu manuskrip itu berubah pikiran.” Arman benar, azimat itu bukan benda mati!

Saya meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang patah. Setelah mengambil jaket di kotak penitipan barang, saya melangkah gontai turun ke lantai satu.

Saya kembali teringat selembar kertas yang terselip di buku catatan Neknang dua bulan setelah veteran itu meninggal pada usia 93 pertengahan tahun 2021.

Carilah Azimat Palembang berstempel Sultan Abdul Hamid II di Leiden. Lalu Neknang menuliskan beberapa paduan huruf dan angka, semacam kode unik, untuk memudahkan penelusuran koleksi. Nang yakin, tidak ada yang peduli dengan azimat itu. Tapi, kau kelak akan tahu kalau di bawah hutan di selatan Musi Rawas, tersimpan 34 kilogram emas dalam bentuk gelang, cincin, mahkota, dan kembang goyang.

Lalu, saya beristighfar dengan bibir bergetar, sebelum tertampar, sebelum terlempar, ke ruangan operasi di Malaysia … yang entah kapan akan dibuka untuk Papa. ***

                                                               —buat Papa (Binjai, 1958–Linggau, 2024)

/Leiden 2024—Linggau, 2025

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Scroll to Top